jaringan yang disembunyikan

[pesawat]........[Milter].......[ekonomi]......[psikologi].......[nutrisi]
[kedokteran]........[Resepmasakan].......[politik].......[sejarah]
[teknik].......[sains].......[Teknologi]......[pertanian].......[Perikanan]
[kelautan].......[tambang].......[job].......[Kesehatan]

...................................................................................................................

(HOME)

29 November, 2008

Ramai-ramai membangun hunian swadaya energi

Di beberapa negara, tidak ketinggalan Korea Selatan, implementasi dari konsep energi hijau nan terbaharukan tengah menunjukkan hasilnya. Dengan mengambil asusmsi bahwa di masa depan bahan bakar fosil akan habis, naiknya permintaan energi, isu lingkungan hidup yang menyertai pendirian pembangkit nuklir yang beresiko dan berlimbah serta pencarian bentuk energi yang dapat menopang peradaban manusia seabadi mungkin tanpa dibarengi dengan potensi destruktf terhadap alam, maka energi hijau nan terbaharukan menjadi sebuah keniscayaan. Isu energi hijau menjadi sebuah isu penting manakalah orientasi warisan kepada anak cucu dan generasi mendatang menjadi acuan terlebih mengingat kehancuran lingkungan yang mengganas akhir-akhir ini. Melalui konsep energi hijau nan terbaharukan ini, ungkapan bahwa “negeri ini bukan warisan nenek moyang, namun merupakan titipan anak cucu kita” dapat dipahami.

Mulailah sebuah gerakan serempak ‘kembali ke alam”. Reorientasi kebijakan dan penerapan teknologi dalam melihat hubungan alam-manusia dalam perspektif baru telah melahirkan aktifitas-aktifitas manusia yang harmonis terhadap alam. Alam dan manusia akhirnya memiliki seamcam meomentum untuk memperbaiki hubungan yang buruk di masa lalu. Pemanfaatan sumber energi semisal minyak bumi dan gas alam terutama pada sektor rumah tangga sebagai salah satu konsumen utama minyak bumi mulai ditinggalkan secara bertahap, bahkan tengah diproyeksikan untuk mengganti secara total keberadaan sumber energi yang habis pakai ini. Jelas dengan pengurangan konsumsi minyak bumi dan gas alam, banyak hal yang diperoleh; pengurangan emisi karbon dioksida, pengehematan biaya, memperlambat akselerasi degradasi lingkungan, memperbaiki kualitas kesehatan serta meperpanjang kelestarian lingkungan.

Inovasi konsep hunian

Keharmonisan alam-manusia ini melahirkan inovasi-inovasi baik budaya perilaku maupun teknologi yang menerapkan perpaduan antara sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan dengan fasilitas penopang aktifitas keseharian yang sudah mapan.

Bentuk inovasi yang paling menonjol ialah rumah yang digenapi dengan seperangkat fasilitas penyuplai energi non-bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam yang dalam istilah konsepnya disebut dengan Building Integrated Photovoltaic (BIPV). Konsep BIPV ini berusaha memadukan konsep hunian idaman masa depan yang menyatu dengan alam sekaligus menyediakan energi sendiri (swadaya energi) guna mennyokong aktifitas penghuninya di dalam. Kata photovoltaic ini sendiri merujuk pada sistem pembangkit tenaga surya (photo = cahaya, voltaic= daya atau tegangan) yang terintegrasi dan menyatu dengan hunian baik rumah maupun gedung dengan berbasis pada sel surya.

Secara fisik, konsep hunian BIPV ini tidaklah berbeda dengan konsep hunian konvensional. Fungsi rumah dalam perspektif BIPV sebagai tempat tinggal dan aktifitas manusia juga memiliki konsep yang sudah terbangun sejak lama yakni hunian yang nyaman ditinggali, serta memiliki arsitektur sesuai dengan kondisi geografis maupun faktor budaya setempat selain memperhitungkan faktor kesehatan. Begitu pula dengan beberapa fasilitas yang jamak ditemui di sebuah hunian semisal taman dan tempat parkir kendaraan.

Perbedaan yang mencolok hanya ada pada bagian atap hunian. Jika pada konsep hunian konvensional, atap pada umumnya hanya berupa susunan genting dari keramik, dalam konsep BIPV atap hunian dihiasi dengan sekumpulan panel-panel surya yang terpasang disepanjang atau disebagian besar atap rumah. Jelas pemasangan panel-panel surya di bagian atap hunian diperuntukkan guna mendapatkan akses sinar matahari yang sebesar-besarnya untuk ditangkap dan diubah menjadi tenaga listrik. Jika konsep BIPV ini diterapkan pada bangunan perkantoran, sisi gedung di bawah jendela dimanfaatkan sebagai tempat di mana panel surya dipasang dengan mengatur sudut kemiringan panel. Pada konteks tertentu, susunan panel surya dengan desain dan lapisan khusus justru mengambil alih peran genting pada sebuah rumah sehingga tidak diperlukan lagi genting keramik yang berfungsi sebagai atap. Untuk BIPV di daerah pegunungan, beberapa tiang yang cukup tinggi untuk memasang panel dan pemanas surya dapat dipergunakan jika sinar matahari terhalang pepohonan, perbukitan atau pegunungan terutama ketika saat matahari terbit dan terbenam. Penghuni hunian berkonsep BIPV pun tidak perlu khawatir dengan problem cuaca maupun kondisi luar ruangan (curah hujan, faktor kelembaban udara, angin kencang, debu, panas, angin kering dsb) terhadap performa panel surya. Hal ini dikarenakan panel surya saat ini resistan terhadap segala jenis cuaca dan memberikan garansi pemakaian dan performa yang stabil dalam kurun 20-30 tahun.

bipv-2.jpg

(Sebuah contoh hunian dengan konsep BIPV dengan panel surya dan pemanas surya yang terpasang di atap.)

Beberapa penyesuaian pada konsep hunian konvensional diperlukan guna mendukung hunian dengan konsep hunian swadaya energi ini. Selain beberapa fasilitas tambahan berupa panel surya, fasilitas pemanas surya juga merupakan salah satu bagian integral pada konsep BIPV kini yang dimaksudkan untuk menghasilkan air panas untuk dipakai bagi keperluan rumah tangga sehari hari atau pada musim dingin (lihat “Ondol”, potret evolusi pemanfaatan energi surya di Korea). Konsekuensi dari adanya pemanas surya dan panel surya di sebuah hunian ialah diperlukannya sebuah ruangan extra untuk tangki penyimpanan air panas serta tempat bagi beberapa set baterei untuk menyimpan listrik hasil kerja panel surya. Ruangan khusus ini umumnya diletakkan di bawah tanah atau basement namun tidak menutup kemungkinan disediakan sebauh ruangan kecil khusus di samping rumah dengan fungsi yang sama.

Sebuah investasi

Pembangunan sebuah hunian dengan konsep BIPV tidaklah seragam. Hal ini diyakini karena di tiap negara, tingkat kebutuhan akan daya listrik, konsumsi energi per kapita, tingkat daya beli masyarakat, dukungan pemerintah serta harga fasilitas panel surya itu sendiri berbeda. Gambaran praktis didapat dengan mengaitkan tingkat Human Development Index (HDI) dengan konsumsi energi per kapita sebuah negara [1] di mana akses masyarakat terhadap energi listrik memiliki korelasi dengan kualitas hidup suatu negara. HDI sendiri diukur berdasarkan pada data harapan hidup (life expectancy), pendidikan (educational achievement) dan produk domestik bruto (gross national product) suatu negara [2].

Untuk kasus Korea Selatan misalnya, negara yang tergolong maju ini berada di peringkat ke-26 dari 177 negara yang dinilai menurut data HDI tahun 2006 [1]. Menurut data International Atomic Energy Agency (IAEA) Korea Sleatan memiliki tingkat konsumsi energi per kapita sebesar 53046.45 kWh/kapita [3]. Dari gambaran ini, tidak mengeherankan jika rata-rata panel surya yang dikembangkan di Korea Selatan untuk BIPV didesain menghasilkan daya maksimal 3 kW alias 3000 Watt pada tengah hari nan terik yang hampir sama dengan daya listrik yang terpasang pada hunian konvensional. Untuk Indonesia dengan tingkat konsumsi energi per kapita 6290.03 kWh/kapita dan rata-rata daya terpasang dari PLN pada hunian 450 – 900 W, maka panel surya yang dibutuhkan tidak lebih untuk menghaslkan daya sekitar 500 - 1000 W pada tengah hari yang terik.

bipv.jpg

(Yeungnam University Solar House, sebuah hunian konsep BIPV dengan panel surya (berwarna biru) dibagian ’sayap’ rumah dan pemanas surya (berwarna abu-abu) di atap serta bagian depan. Daya maksimum panel surya ialah bisa mencapai 10.000 watt atau 10 kilo-Watt pada tengah hari)

Pemerintah Korea Selatan sendiri dalam upayanya menyebarluaskan pemakaian sel/panel surya di hunian melalui konsep BIPV, telah memberikan skema subsidi yang cukup menarik, baik bagi konsumen sel surya maupun pihak pabrikan pnael surya. Skema subsidi di dalam pemanfaatan energi terbaharukan dirasakan mutlak demi meningkatkan daya saing produk energi terbaharukan dan merangsang konsumen untuk beralih dari energi konvensional ke energi terbaharukan. Hal ini tidak lepas dari masih mahalnya harga listrik per kilo-watt yang dihasilkan oleh produk energi terbaharukan semisal sel surya, dibandingkan dengan energi konvensional yang berpangkal dari masih rendahnya efisiensi sel surya yakni sekitar 10-13%.

Subsidi yang diterapkan pemerintah Korea Selatan merupakan subsidi untuk pabrikan sel surya. Agar dapat bersaing dengan listrik dari sumber energi konvensional, maka harga per watt dari panel surya harus ditekan hingga sekitar US$ 1/watt. Harga ini dibebankan kepada seluruh sistem panel surya termasuk infrastuktur dan baterei yang dikenal dengan Balance of System (BOS). Sehingga, jika seorang memutuskan untuk memasang sebuah panel surya lengkap denagn BOS berdaya 3000 watt, maka harga seluruh komponen ialah US$ 3000. Sejatinya, harga fasilitas panel surya untuk keperluan BIPV ialah US$ 30.000. Pemerintah memberikan subsidi langsung kepada pabrikan sekitar 70% dan pabrikan memberi potongan harga sebesar 10-20 % yang menjadikan harga di tangan konsumen ialah tinggal 10 % [4].

Dari titik ini, konsumen panel surya untuk BIPV sudah diberi kemudahan dari segi harga. Disamping itu, di Korea Selatan, listrik yang diproduksi oleh panel surya di sebuah BIPV dapat pula dijual ke perusahaan listrik setempat. Berbanding terbalik dengan hunian konvensional yang membeli listrik, BIPV selain memproduksi listrik secara swadaya juga dapat menjual liistrik ke perusahaan listrik atau semacam PLN di Korea dengan harga yang telah ditentukan. Di sini, konsumen BIPV kembali mendapatkan keuntungan. Sehingga, pembelian panel surya justru dilihat dari sebuah aktifitas investasi jangka panjang bagi para konsumen dengan keuntungan yang sangat menarik, di samping secara langsung berperan dalam kelestarian lingkungan hidup tentunya.

Siapa ingin mencoba?

Rujukan

[1] United Nations of Development Program, UNDP, http://www.undp.org

[2] Steven Hegedus et al. Handbook of Photovoltaic Science and Engineering, John Willey and Sons, 2005

[3] International Atomic Energy Agency, IAEA, http://www.iaea.org

[4] Perbincangan dengan Prof. Jae-sung Lee, Departement Bioindustry Yeungnam University, konsumen panel surya untuk BIPV

No comments: