jaringan yang disembunyikan

[pesawat]........[Milter].......[ekonomi]......[psikologi].......[nutrisi]
[kedokteran]........[Resepmasakan].......[politik].......[sejarah]
[teknik].......[sains].......[Teknologi]......[pertanian].......[Perikanan]
[kelautan].......[tambang].......[job].......[Kesehatan]

...................................................................................................................

(HOME)

29 November, 2008

Membuat Sel Surya Sendiri? Bagian 2 : Proses Pembuatan Sel Surya

Secara singkat, proses pembuatan sel surya jenis silikon telah dipaparkan di Blog ini. Hanya saja, yang penulis paparkan hanyalah prosesnya tanpa menuliskan secara rinci sejauh apa konsep dan peralatan yang dibutuhkan, apalagi besar biaya investasinya. Sama kasusnya dengan pengolahan pasir silika menjadi silikon, pembuatan sel surya ini melibatkan aktifitas yang melibatkan proses high-technology, yakni nanoteknologi.

Artikel ini mencoba mengupas kemungkinan membuat sel surya secara mandiri seperti yang sempat dilontarkan oleh rekan pengunjung Blog ini beberapa waktu lalu;

Makhfud berkata:

Saya ingin belajar cara membuat solar cell, ingin tahu brapa biaya yang di butuhkan dalam membuat solar cell, serta cara pemasangannya, mohon bantuannya saya butuh lebih banyak lagi artikel tentang solar cell.

Begini….

Pada dasarnya, pembuatan sel surya tidak ubahnya pembuatan microchip yang ada di dalam peralatan elektronika semisal komputer, televisi maupun alat pemutar musik digital MP3. Banyak teknologi yang dipakai oleh sel surya mengadopsi dan mengadaptasi teknologi pembuatan microchip karena teknologi microchip sudah mapan jauh sebelum booming sel surya yang baru muncul belakangan di akhir 1980-an.

Teknologi pembuatan microchip maupun sel surya sama-sama bersandar pada konsep nanoteknologi. Yakni sebuah konsep revolusioner dalam merekayasa perilaku dan fungsi sebuah sistem pada skala molekul atau skala nanometer (berdimensi ukuran se-per-milyar meter). Sistem yang dimaksud ini dapat berupa molekul-molekul, ikatan kimia, hingga atom-atom yang menyusun sebuah produk. Yang direkayasa ialah perilaku atom atau molekul-molekulnya tadi dengan jalan menyesuaikan kondisi pembuatan atau lingkungan molekul atau atom yang dimaksud.

Gambar 1. Sebuah gambaran konsep dari Nanoteknologi. Saking kecilnya produk nanoteknologi, hingga seekor semut pun dapat turut membantu mengangkat sebuah microchip.

Sebagai contoh nyata yang umum pada dunia akademik maupun industri mikrochip ialah, kita dapat mengatur di mana sebuah molekul atau atom tersebut menempel di bagian tertentu pada komponen microchip atau sel surya, atau “memrintahkan” ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika arus listrik atau temperatur disesuaikan. Pengaturan atau perekayasaan perilaku molekul atau atom ini sangat berguna untuk menyesuaikan produk sebuah teknologi untuk keperluan sehari-hari. Hal ini terlihat jelas jika melihat kegunaan komputer dewasa ini yang semakin cepat dan poweful justru ketika ukuran prosesor-nya semakin kecil dan memori yang semakin padat. Atau kita melihat bagaimana rekayasa molekul dapat menghasilkan tanaman yang mengasilkan buah dan bibit yang berkualitas lebih unggul.

Gambar 2. Perbesaran dari bagian internal sebuah prosesor komputer/semikonduktor.

Yang kadang terlupakan, nanoteknologi tidak hanya menyentuh persoalan bagaimana membuat, namun juga bagaimana menguji dan mengamatinya, yang jelas membutuhkan alat yang sama-sama berangkat dari konsep yang sama dan dimensi ukuran yang sama. Semisal, ketika ingin mengetahui sebuah produk apakah bagus atau tidak, maka perlu melalui serentetan pengujian dan analisa yang berujung pada sebuah kesimpulan bagus atau jeleknya sebuah produk. Jika produknya memiliki ukuran satu helai rambut dibelah 1000, maka alat penguji dan pengamatnya harus mampu menjejak dengan ketelitian hingga sebesar itu pula.

Perlu penulis tegaskan, nenoteknologi ini ialah konsep yang sangat mahal, mahal dalam arti kata sebenarnya. Sangat banyak prasyarat maupun biaya yang harus dipenuhi sebelum memulai sebuah penelitian dalam skala nanoteknologi, apalagi untuk membawanya ke arah komersialisasi yang melibatkan investasi yang tidak sedikit dan kerumitan yang tinggi.

Ada syarat kebersihan ekstra jika kita hendak mengadopsi konsep nanoteknologi. Semakin kecil sebuah produk, maka jika ada kotoran atau debu saja yang menempel pada produk tersebut (yang notabene berukuran sama), maka produk nanoteknologi tersebut tidak akan berfungsi dengan baik. Sehingga, salah satu investasi ekstra jika hendak menekuni nanoteknologi ialah membangun fasilitas entah itu pabrik atau laboratorium yang sangat-sangat bersih sesuai dengan standar yang berlaku, yang disebut dengan Clean Room (lihat gambar 3 berikut).

Gambar 3. Situasi di sebuah Clean Room. Perhatikan baju khusus anti debu yang dipakai para pekerja di sebuah Clean Room.

Standar pembuatan sel surya jenis silikon melalui beberapa proses implantasi (pemasukan) atom-atom lain ke dalam material silikon yang melibatkan proses kimiawi difusi gas pada temperatur di atas 800 derajat Celcius. Proses ini apabila tidak teliti akan mengakibatkan kebocoran dan sangat berbahaya karena mempergunakan gas yang beracun bagi kesehatan. Alat yang dipergunakan sendiri jelas harus mampu membangkitkan, mengatur dan mempertahankan proses di dalam temperatur tinggi tersebut. Pembuatan sel surya sendiri melalui beberapa tahap proses yang serupa dengan proses implantasi ini dalam temperatur yang berbeda-beda. Jelas tidak boleh terdapat adanya pengotor semacam debu yang ditolerir selama proses berlangsunng karena bila ada, maka sel surya akan gagal total.

Sebenarnya. jika kita melihat alat dan proses yangterlibat dalam pembuatan sel surya secara langsung, maka kesan angker dan sakralnya proses tersebut akan hilang dengan sendirinya (lihat gambar 4 di bawah ini). Prosesnya melibatkan otomatisasi dan komputerisasi. Alatnya sendiri terbungkus rapi di dalam sebuah lemari besi berjendela kaca sehingga aman ketika dioperasikan. Hanya saja, untuk berinvestasi membeli, mempergunakan serta merawat alat tersebut, biaya yang dikeluarkan sangatlah mahal untuk ukuran kita sehingga mustahil bagi industri kecil apalagi perseorangan untuk membuat sel surya sendiri. Terlebih dalam menyediakan gas khusus yang dibutuhkan untuk implantasi atom yang tidak sembarangan dalam penanganannya.

Gambar 4. (Atas) Salah satu alat untuk melakukan proses difusi atom ke dalam silikon yang mengandalkan plasma. (Bawah) Tipikal alat pembuatan sel surya yang telah terintegrasi dan terkompuiterisasi

Kerumitan pembuatan sel surya ada pada tahap pengecekan efisiensi sel yang baru dibuat. Memeriksa apakah sel surya itu dapat berfungsi dengan baik dan dengan efisiensi yang baik membutuhkan peralatan tersendiri dan tidak sembarangan untuk sekedar dirakit. Peralatan ini mensimulasikan besarnya energi cahaya matahari dan harus dikalibrasi dengan standar tertentu. Simulasi ini harus mendekati kondisi sebenarnya penyinaran cahaya matahari. Alat yang dperlukan untuk ini ialah solar simulator yakni alat yang mensimulasikan energi cahaya matahari dan mengukur respon sel surya terhadap cahaya matahari yang akhirnya menghitung efisiensi sel surya.

Gambar 5. (Atas) Prinsip kerja sebuah Solar Simulator, (Bawah) Solar simulator yang dijual di pasaran.

Untuk meniru energi yang dipancarkan oleh matahari, Solar Simulator ini dilengkapi dengan lampu yang berisi gas Xenon yang mampu memberikan kondisi yang nyaris persis sama dengan matahari. Sel surya yang hendak diukur efisiensinya, diletakkan di bagian yang telah ditentukan. Hasil akhir dari simulasi ini ialah berapa besar efisiensi dan daya yang mampu dihasilkan oleh sebuah sel surya. Biasanya pengukuran ini dilakukan pada tahap paling akhir pembuatan sel surya.

Apa yang dapat kita dilakukan?

Penulis melihat meski sel surya tidak dapat dikembangkan secara sembarangan, ada beberapa hal yang perlu dicermati sebagai pintu masuk terlibatnya masyarakat kita turut aktif mengembangkan sel surya. Penulis urutkan dari tingkatan paling ideal hingga yang paling realistis untuk dilakukan.

1. Peleburan dan pembuatan wafer silikon

Kalau negara kita mengklaim memiliki kekayaan alam pasir silika yang dapat diolah menjadi silikon, maka ini perlu dibuktikan dengan memproduksi sendiri silikon yang diperlukan. Negara kita cukup mampu dalam mengolah bijih-bijih logam dan mustinya mampu pula mengolah pasir silika menjadi bijih silikon. Namun, jika kemampuan finansial maupun teknik bangsa kita masih kalah jauh dengan negara yang sudah maju dalam pembuatan wafer silikon monokristal untuk semikonduktor, maka cukuplah membidik pangsa pasar wafer silikon polikristal untuk sel surya yang level pembuatannya relatif lebih mudah dilakukan.

Gambar 6. pasir silika, menunggu untuk diubah menjadi sel surya.

Sejatinya, industri wafer silikon ialah sebuah industri strategis berteknologi tinggi. Posisinya sama dengan industri dirgantara, kapal laut maupun industri baja. Hal ini berkaitan dengan peran vital silikon dalam industri elektronik. Tidak ada industri elektronik manapun yang tidak membutuhkan silikon. Bila sebuah gedung dapat berdiri tegak karena memanfaatkan baja dan pesawat dapat terbang karena menggunakan aluminium, maka komputer dan alat elektronika lain dapat berfungsi karena adanya wafer silikon ini.

Apabila negara kita dapat memiliki industrri strategis di bidang ini, maka kontribusi Indonesia terhadap industri dunia menjadi sangat siginifikan. Sebagai contoh terdekat dengan penulis saat ini, Korea Selatan saat ini menjadi pemimpin dalam bidang memori RAM komputer dengan merek Samsung maupun Hynix. Meski demikian, merka tetap bersikeras membuat wafer silikon sendiri demi mengurangi ketergantungan industri memorinya dari wafer silikon buatan luar. Efek positif dari pembuatan wafer sendiri ialah tingkat kecepatan suplai bahan baku wafer serta meningkatnya sisi konpetitif dan ekonomis dari memori buatan Korea di pasar dunia.

2. Impor mesin-mesin pembuatan sel surya.

Langkah China dalam memasarkan sel surya di negaranya maupun di pasaran dunia cukup menarik untuk dicermati. Industri-industri China tidak membuat material dasar wafer silikon untuk sel surya karena mereka tahu investasinya akan sangat besar. Mereka juga tidak memiliki kemampuan dalam membuat mesin-mesin yang dipergunakan pabrik-pabrik mereka untuk membuat sel surya dalam skala besar.

Gambar 7. Mesin pembuat sel surya yang telah terintegrasi. Perlu ada investasi untuk membelinya dari luar negeri.

Hanya saja, strategi mereka ialah, mengimpor mesin-mesin pabrik dari Jerman sebagai bahagian dari investasi, serta mengimpor material silikon khusus untuk sel surya dari negaa-negara lain semisal, Jerman, Jepang dan Korea Selatan. Keunggulan komparatif upah pekerja yang murah, membuat sel-sel surya made in China saat ini bersaing di pasaran sel surya Eropa selain menjadi tuan rumah di negara sendiri tentunya. Hal ini penulis saksikan sendiri dalam ajang pameran dan konferensi ilmiah sel surya tahun 2005 di Shanghai, China. Mungkin strategi ini dalam jangka pendek bisa diterapkan di Indonesia.

3. Industri assembly.

Kerumitan pembuatan sel surya tidak terlalu ditemui pada proses enkapsulasi sel surya menjadi sebuah modul surya. Sebagai informasi, sel surya sendiri berukuran sekitar 5 x 5 atau 10 x 10 cm persegi. Sel sebesar ini hanya dapat mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik berdaya sekitar 1 - 2 Watt saja. Untuk dapat digunakan secara praktis, seitar 30 hingga 50 buah sel surya ini dirangkaikan satu sama lain agar menghasilkan daya keluaran sekitar 50 hingga 75 Watt. Rangkaian sel surya ini disebut dengan modul surya dan modul surya-lah yang sebenarnya dijual dipasaran yang terdiri atas sekian buah sel surya (Gambar 8). Dengan menata seberapa besar kebutuhan listrik, maka tinggal dihitung saja berapa banyak modul surya yang perlu dibeli, kemudian digabung dan dirangkaikan kembali agar menghasilkan daya keluaran sesuai dengan kebutuhan listrik rumah tangga misalnya. Rangkaian modul surya ini disebut dengan panel surya.

Gambar 8. Contoh modul sel surya yang dipasarkan. Perhatikan adanya sel surya di dalam modul yang telah dirangkai dan dienkapsulasi menjadi satu susunan besar modul surya.

Sejauh yang penulis ketahui, proses enkapsulasi sel surya menjadi modul surya relatif lebih mudah dilakukan oleh industri menengah karena inti kegiatannya sama dengan proses assembly, atau merangkai sesuatu dari komponen-komponen yang sudah jadi. PT LEN, sebuah BUMN konon kabarnya sudah mampu meng-assembly sel surya menjadi modul surya yang siap dipasarkan. Melalui langkah ini. industri assembly sel surya tidak perlu berinvestasi pada penambangan, peleburan dan pembuatan wafer silikon. Jalan umum yang diambil hanyalah mengimpor sel surya yang sudah jadi, kemudian merangkainya menjadi modul dan menjualnya kembali ke pasaran.

4. Pembuatan komponen pelengkap sel surya.

Hal terakhir yang mungkin penulis sarankan ialah menekuni pembuatan komponen sel surya (disebut dengan balance of system lihat Gambar 8), semacam inverter DC ke AC, kabel-kabel, aki atau baterei, beberapa kontroler yang penulis yakin sudah cukup dikuasai industri elektronika di Indonesia. Jelas keuntungan produk Indonesia yang relatif murah mustinya dapat merajai pasar komponen untuk sel surya di tanah air. Sebagai tambahan, mungkin desain perumahan atau gedung yang siap merespon pemakaian sel surya di Indonesia dapat menjadi lahan bagus buat para arsitek.

Gambar 9. Komponen-komponen pelengkap sel surya agar dapat bekerja (Balance of System)

Antara Ilmu dan Investasi

Akhirul kalam, dengan menurunkan artikel ini, penulis agak khawatir telah menutup semangat dan cita-cita beberapa pengunjung Blog peminat sel surya yang berniat untuk mengusahakan sel surya sendiri, atau beberapa pihak yang telah melihat potensi alam Indonesia yang kaya pasir silika akan surut langkahnya untuk melirik energi alternatif lain di masa depan. Tidak kurang dari profesional, masyarakat awam hingga anggota direksi sebuah BUMN sempat menanyakan kemungkinan membuat sel surya sendiri.

Namun penulis berpegang bahwa itulah manfaat ilmu, yakni mengkaji dan meluruskan serta memberikan sebuah rekomendasi sebagai respon atas pandangan umum di tengah-tengah masyarakat mengenai sebuah produk teknologi, dalam hal ini sel surya. Sel surya sebagai produk teknologi tidak lepas dari peran investasi sebagai konsekuensi logis dari visi produksi massal sel surya guna mengatasi tantangan energi di masa depan. Tanpa investasi baik dalam tataran penelitian, pengembangan maupun produksi, hasil teknologi tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas melainkan teronggok di dalam lemari perpustakaan atau sekedar bahan laporan akhir atau sekedar karya ilmiah kecil.

Sebagai penutup, penulis menegaskan bahwa negara kita apalagi kita perseorangan, tidak mungkin alias mustahil membuat sel surya sendiri meski dengan menggunakan bahan-bahan alam dari bumi pertiwi tanpa investasi besar dan langkah yang serius. Mungkin pemerintah perlu segera membuat langkah nyata agar investor antuisias menanamkan modal untuk mengolah potensi silikon serta membangun iklim penelitian dan investasi di area sel surya yang kondusif. Dengan catatan, pemerintah musti sudah bervisi ke depan mempersiapkan konsep energi yang berkelanjutan, bersih dan murah.

No comments: