jaringan yang disembunyikan

[pesawat]........[Milter].......[ekonomi]......[psikologi].......[nutrisi]
[kedokteran]........[Resepmasakan].......[politik].......[sejarah]
[teknik].......[sains].......[Teknologi]......[pertanian].......[Perikanan]
[kelautan].......[tambang].......[job].......[Kesehatan]

...................................................................................................................

(HOME)

05 December, 2008

Cara Baru Mengolah Sampah Jakarta

Di masa sampah tak lagi diangkut ke Bantargebang, cukup diolah dihalaman rumah masing-masing.

Inilah perkara yang terlihat sepele tapi ternyata cukup rumit: soal sampah. Limbah itu sepertinya menjadi benda najis yang dijauhi semua orang. Di Kelurahan Pondok Kelapa, misalnya. Soal buang sampah, pernah sampai memancing kerusuhan antar warga. Sesama warga disana menolak lokasi RW mereka menjadi tenpat penampungan sampah. Padahal, lahan semakin sempit, dan tumpukan sampah setiap hari makin membukit.

Walau tak sampai bentrok fisik, tapi situasi antar tetangga satu kampung itu sempat memanas. "Ya, begitulah. Dari soal sampah, bisa-bisa kita sekampung dapat musibah," ujar Andri Yansyah, Sekretaris Kelurahan Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur kepada Koran Tempo.

Bisa jadi, kejadian itu hanya refleksi dari ruwetnya pengelolaan sampah di Ibukota. Tapi kini, Andri patut bersyukur. Setidaknya, sejak tiga bulan lalu, warga tiga RW di kampung itu tak pusing lagi memikirkan urusan sampah. Kelurahan itu, bersama Kalurahan Rawasari, telah menjadi proyek percontohan mengelola sampah dengan cara baru. Nama sistemnya cukup keren: zero waste, alias mengolah sampah sampai tuntas.

Ceritanya begini. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berupaya memecahkan masalah rumit sampah ibukota yang seruwet tumpukan sampah di TPA Bantargebang-tempat warga Jakarta membuang sampahnya selama ini. Hasil riset awal menyimpulkan: harus ada perubahan paradigma dalam mengelola sampah. Cara menangani sampah lewat pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan ternyata tak efektif lagi. "Kita harus mengurangi sampah sejak dari sumbernya," ujar Ir Sri Bebassari Msi, pakar sampah dari BPPT kepada Koran Tempo.

Praktik pengolahan sampah gaya lama, menurut dia, makan biaya besar. Padahal, hasilnya juga tak memuaskan. Produksi sampah di Jakarta yang mencapai 5000 ton itu setidaknya memerlukan lahan sekitar 180 hektare per tahun. Asumsinya, tinggi tumpukan sekitar 2 meter, tanpa perencanaan sanitary landfill, hanya dengan open dumping seperti di Bantargebang.

Selain itu, lokasi TPA di luar kota, membuat soal transportasi jadi sulit. Memang ada truk. Tapi, kemampuannya terbatas. Untuk mengangkut sampah yang segunung itu, setidaknya butuh 2500 truk. Padahal, saat ini yang tersedia cuma sekitar 500-700 truk.

Inti konsep zero waste adalah memisahkan limbah sampah organik dari yang an-organik. Sampah organik diproses menjadi kompos, sedangkan yang anorganik dijadikan bahan mentah untuk daur ulang. Misalnya, plastik, kaleng dan kertas. Sisa proses itu baru dilempar ke instalasi pembakaran dengan mengunakan incinerator. "Sisa pembakaran baru kita buang ke landfill," tambah Sri.

Di atas kertas, konsep ini mampu mereduksi sampah menjadi 3,6 persen. Katakanlah, dari 100 ton sampah perkotaan itu, diduga 80 persen berbentuk sampah organik (basah). Sisanya, 20 persen merupakan sampah kering. Sampah basah dapat menjadi bahan baku kompos, yang dapat menghasilkan 20 ton kompos.

Selama proses itu, menurut Sri, 48 ton sampah basah menguap karena proses pengomposan. Tapi, tetap ada sisa sekitar 12 ton. Begitu juga sampah kering (anorganik), menjadi bahan daur ulang, yang menghasilkan 14 ton produk dengan sisa proses sekitar 6 ton. Sisa proses kompos dan daur ulang, idealnya diolah lagi dengan incinerator. Sisanya, tinggal 3,6 ton. "Dengan begitu, lahan landfill bisa kita kurangi" .

Manfaatkan Gerombolan Cacing

Kalurahan Pondok punya cerita bagus dalam pemanfaatan model ini. Menurut Rustam, 25 tahun, seorang pengawas proyek percontohan itu, instalasi pengolahan sampah di tempatnya mampu menghancurkan 15 meter kubik sampah setiap harinya. Setiap hari, sekitar lima belas gerobak sampah mampir di sebuah bangunan mirip gudang cuci mobil itu. Letaknya agak jauh dari pemukiman. Persisnya, di Jalan Haji Manan Nomor 5, Pondok Kelapa.

Inti dari proses itu sebenarnya sesuai dengan pendekatan 3 R: Reduce (mengurangi), Reuse (memakai kembali) dan Recycle (mendaur ulang) sampah. Instalasi pengeloalan sampah di Pondok Kelapa ini adalah bagian dari mengurangi dan menggunakan kembali sampah. Tapi, dalam praktiknya, belum sepenuhnya konsep itu bisa dijalankan. Menurut Rustam, mereka baru mencoba memilah dan mengurangi jumlah sampah dengan mengolahnya jadi kompos.

Caranya sederhana. Sampah yang dimuntahkan dari perut gerobak, ditampung dalam sebuah bak semen. Lalu, dua orang pekerja menguruknya ke atas ban berjalan (conveyer). Menyusuri ban itu, aneka ragam sampah tadi akan disambar oleh sekitar lima orang pekerja. Mereka dengan cekatan memisahkan sampah yang organik dan yang organik.

Sampah organik, misalnya. Limbah itu diolah menjadi kompos. Lewat proses satu bulan fermentasi, sampah menjelma jadi semi-kompos. Sisanya, diolah dengan memakai cacing sebagai katalisator. Kompos "hasil kerja" kawanan cacing itu lebih lembut. Orang menyebutnya "kascing" alias kompos cacing.

Kendati begitu, tak semua sampah berhasil diolah. Terutama jenis non organik. Sampah semisal plastik, kaleng dan kertas itu akhirnya ditumpuk dalam paket-paket kecil. Menurut Rustam, paket itu adalah pesanan dari sejumlah pabrik daur ulang di daerah Bekasi. Yang bikin pusing adalah sampah yang tak bisa diolah di pabrik. Sampah jenis itu harusnya dibakar. Abunya, akan diolah menjadi barang yang berguna, semisal batako. "Sayangnya kita tak punya incinerator (alat pembakar sampah)," ujarnya.

Perlu Dukungan Kebijakan

Satu sisi, secara logis konsep ini memang mampu menggunting jumlah lahan bagi TPA. Menurut Sri, dia yakin untuk skala kawasan, modul ini akan bekerja efektif. Tapi, menyangkut skala besar seperti DKI Jakarta, dibutuhkan dana yang juga besar untuk operasi dan investasi. Dalam hitungan dia, untuk skala kawasan, dibutuhkan dana sekitar Rp 150-500 juta. Hitungan itu untuk pengolahan sampah dengan volume 20 meter kubik per hari. "Itu cuma melayani sekitar 5000-8000 jiwa," ujarnya.

Namun, proyek ini juga membutuhkan pendekatan non teknologi, semisal aspek sosial dan budaya. Misalnya saja, soal sumber daya manusia. Ada kesan mesayarkat enggan berurusan dengan sampah. Rustam, sang mandor di "pabrik" sampah Pondok Kelapa itu memberi contoh. Dia pusing mencari tenaga kerja untuk memilah sampah di instalasi pengolahan itu.

Ahmad Safrudin, Ketua Walhi Jakarta sepakat dengan proyek pengolahan model zero waste dari BPPT itu. Baginya, yang terpenting, Pemda harus siap mengadopsinya menjadi sebuah kebijakan yang terpadu. Soalnya, sampah saat ini tampaknya tak menjadi isu prioritas bagi Pemda DKI, dan bahkan Pemerintah Pusat. Menurutnya, harus ada prioritas untuk mengatasi soal sampah. Pendekatan budaya, melalui penegakan disiplin membuang sampah harus lebih diperketat.

Selain itu, konsep itu harus didukung dengan kebijakan lainnya. Misalnya, pemasaraan hasil produksi kompos dari proses pengolahan itu. Pemerintah harus segera mengantisipasi dengan merubah kebijakan pupouk nasional. Selama ini, menurut Ahmad, orientasi pupuk bagi pertanian nasional adalah berbahan kimia. Padahal, biofertilizer seperti kompos jauh lebih aman dan efektif. Belum lagi soal penegakan hukum atas serangkaian peraturan lingkungan. "Jadi, pendekatannya harus terpadu," ujarnya. nezar patria

No comments: