jaringan yang disembunyikan

[pesawat]........[Milter].......[ekonomi]......[psikologi].......[nutrisi]
[kedokteran]........[Resepmasakan].......[politik].......[sejarah]
[teknik].......[sains].......[Teknologi]......[pertanian].......[Perikanan]
[kelautan].......[tambang].......[job].......[Kesehatan]

...................................................................................................................

(HOME)

29 November, 2008

merakit aeromodeling

EDISI TAHUN 2008

AYO KITA BERKREASI YUK MERAKIT SENDIRI PESAWAT MODEL SELAMA WEEK END 2008

Mulai bulan Juni 2008 ini, Bandung Aeromodeling menyediakan berbagai kit pesawat Model Edukasi 2008 yaitu mengajak para peminat aeromodeling untuk merakit sendiri pesawat model untuk edukasi selama liburan. Untuk itulah maka Bandung Aeromodeling menyediakan berbagai kit pesawat elektric dan suku cadangnya termasuk motor listrik, baterai, Speed Control, R/C dan R/C Simulator yang ekonomis. Info selengkapnya dapat disimak di Program Extravaganza 2008.

Pesawat Model Cessna 400

R/C Sport Trainer Elektrik

Dari usulan beberapa rekan aeromodeler yang gemar merakit pesawat model elektrik, Bandung Aeromodeling telah menyiapkan pesawat model Cessna 400 Elektrik yang secara Ekonomis terjangkau harganya dan secara teknis telah dirancang agar karakteristik terbangnya stabil dan mantap sehingga mudah diterbangkan oleh para aeromodeler yang jam terbangnya masih rendah atau juga para pemula.

Pesawat Cessna 400 Elektrik tersebut saat ini disediakan dalam bentuk kit, ARC dan ARF. Strukturnya sebagian besar terbuat dari kayu balsa dan sedikit fiberglass. Dimensinya secara umum adalah bentang sayap 140 Cm, panjang badan secara keseluruhan 120 Cm dengan luas sayap adalah 30 dm^2.

Sayapnya tidak dilengkapi aileron menggunakan airfoil berketebalan 13% yang menghasilkan karakteristik terbang yang cocok sebagai pesawat latih/trainer .

Pesawat Model Cessna 400 elektrik ini dapat dirakit sendiri dari kit dengan Bodi dari kayu balsa dan cowl dari Fiberglass.

Ready Stock Panthera 46 Sport Aerobatic ARF Rp.850.000,- Paket Kombo RTF dng Engine TT Pro46+ Radio 4 EX Rp.3.750.000,

Untuk membantu para aeromodeler yang ingin memiliki pesawat model Cessna 400 elektrik ini namun tidak punya waktu yang cukup untuk merakitnya, maka Bandung Aeromodeling menyediakan Pesawat Model Cessna 400 Elektrik ini dalam kondisi ARC dan ARF.

.

Pesawat model ARF menggunakan covering Indocote untuk melapisi sayap dan ekornya. Sedangkan cowl pada badannya dibuat dari fiberglass dengan dilapisi gelcoat yang tidak luntur .

Pesawat ini dilengkapi dengan tangkai roda pendarat dari pelat dural 3 mm dan roda pendaratnya dari karet busa berdiameter 3".

Pesawat Model ini mempunyai berat siap terbang 700 gram dan dapat ditenagai dengan motor Speed 400 (RS380) dengan baterai 6 - 7.2 V atau sejenisnya hingga cocok menggunakan propeller berukuran 7"x4" hingga 7"x5".

Pesawat Cessna 400 Elektrik ini disediakan di Bandung Aeromodeling dalam bentuk kit seharga Rp.300.000,- dalam bentuk ARC seharga Rp. 350.000 serta dalam bentuk ARF seharga Rp. 450.000 dengan dilengkapi dengan motor, covering material dan roda pendarat, push rod, engsel, dan sebagainya

Paket kombo lengkap dengan motor Speed 400 dan Radio Control Skyartec 4 Ch FM, 3 mikro servo, Speed Control, dan baterai pack disediakan pula dengan harga menarik.

Paket Kombo Kit harga Rp.850.000,- Paket Kombo ARC harga Rp.950.000,- dan Paket Kombo ARF Rp.1.050.000,-

Tentunya harga tersebut di atas belum termasuk ongkos kirim ke alamat pemesan. Silahkan konfirmasikan ongkos kirim ke kota anda. Hubungi Bandung Aeromodeling Telp. (022)6013999, facsimile (022)6015941 atau email ke aerobdg@yahoo.com.

Ready Stock Radio Control Skyartec 4 Ch FM Rp.650.000,- dilengkapi dengan 6 Ch Micro Rx, 3 micro servo dan R/C Simulator,-

Sel Surya Buatan Dalam Negeri Justru Dipesan Luar Negeri

JAKARTA, JUMAT - Sel surya dari industri dalam negeri yang sedang dirancang Wilson Walery Wenas dari Institut Teknologi Bandung, dengan investor Bakrie Power dan investor dari Amerika Serikat, justru sudah dipesan pembeli dari luar negeri. Pemesanan sebesar 10 megawatt (MW) datang dari Spanyol dan harus bisa dipenuhi Mei 2009. Sementara itu, pemesanan dari konsumen dalam negeri sama sekali belum ada, padahal kapasitas produksinya 90 MW per tahun.

Wilson ketika dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (9/10), mengatakan, lokasi industri sel surya yang masih tahap persiapan itu berada di Cikarang, Jawa Barat, dengan nama perusahaan Nano-PV. Jenis sel surya yang akan diproduksi berupa sel surya generasi kedua, yaitu sel surya thin film (lapisan tipis) dari hasil temuan Wilson yang kini sudah dipatenkan.

“Teknologi yang saya temukan itu nanti akan digabungkan dengan teknologi dari Amerika Serikat,” kata Wilson.

Termurah di dunia

Harga komersial sel surya yang diharapkan, menurut Wilson, bisa mencapai 0,8-0,9 dollar AS per watt. “Harga demikian akan menjadikan sel surya Nano-PV menjadi yang termurah di dunia,” kata Wilson.

Beberapa waktu sebelumnya, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengatakan, industri sel surya memiliki produk akhir yang ramah lingkungan. Akan tetapi, pada proses pembuatannya harus dicermati karena tergolong tidak ramah lingkungan.

Menanggapi persoalan ini, Wilson mengatakan, pembuatan sel surya pada generasi pertama diakui memang tidak ramah lingkungan. Penggunaan logam berat merkuri masih dominan.

“Namun, tidak demikian halnya untuk produksi sel surya generasi kedua yang tidak mengandalkan penggunaan logam berat merkuri,” kata Wilson menjelaskan.

Menurut Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi, kebutuhan dalam negeri terhadap sel surya sebetulnya cukup tinggi. Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan pemanfaatan energi yang berasal dari sel surya mencapai 800 megawatt. Padahal, kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 10 megawatt.

Dengan target yang cukup ambisius tersebut, menurut Arya, semestinya setiap tahun pemerintah menargetkan penginstalan sel surya dengan kapasitas 40 megawatt. Namun, target ini belum tercapai. (NAW)

SELL SURYA

“Sel surya” merupakan kata yang paling banyak diketik orang ketika mencari sebuah portal internet untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk beluk sel surya. Kata tersebut itulah yang dipergunakan orang untuk menemukan Blog ini selain kata-kata “pembuatan sel surya”, “harga sel surya”, “energi surya” dan sebagainya.

Patut penulis syukuri bahwa rata-rata per harinya, halaman Blog ini dilongok 100-150 kali. Jelas ini benar-benar patut disyukuri mengingat Blog ini bukanlah sebuah blog umum yang membahas aneka ragam isu-isu hangat yang tengah timbul tengelam di masyarakat, melainkan sebuah Blog dengan pengunjung yang terspesifikasi khusus dalam bidang teknologi tertentu; sel surya.

Tulisan kali ini ingin mencoba untuk merangkum beberapa pertanyaan yang paling sering dilontarkan di Blog ini terkait dengan sel surya yang sayangnya penulis baru kali ini sempat menjawabnya secara khusus dalam sebuah artikel. Berikut ini ialah pertanyaan yang pada umumnya sering ditanyakan melalui Blog ini.

FAQ ini penulis susun secara berkala dan diusahakan selalu diperbaharui/update dengan menambahkan aspek baru terkait dengan hal hal dasar tentang sel surya dan teknologinya.

1. Apakah sel surya itu dan bagaimana cara kerjanya?

Sel surya ialah sebuah alat yang tersusun dari material semikonduktor yang dapat mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik secara langsung. Sering juga dipakai istilah photovoltaic atau fotovoltaik. Sel surya pada dasarnya terdiri atas sambungan p-n yang sama fungsinya dengan sebuah dioda (diode). Sederhananya, ketika sinar matahari mengenai permukaan sel surya, energi yang dibawa oleh sinar matahari ini akan diserap oleh elektron pada sambungan p-n untuk berpindah dari bagian dioda p ke n dan untuk selanjutnya mengalir ke luar melalui kabel yang terpasang ke sel.

2. Siapakah yang pertama kali menemukan sel surya?

Sejarah sel surya dapat dilihat jauh ke belakang ketika pada tahun 1839 Edmund Becquerel, seorang pemuda Prancis berusia 19 tahun menemukan efek yang sekarang dikenal dengan efek fotovoltaik ketika tengah berkesperimen menggunakan sel larutan elektrolisis yang dibuat dari dua elektroda. Becquerel menemukan bahwa beberapa jenis material tertentu memproduksi arus listrik dalam jumlah kecil ketika terkena cahaya.

Era sel surya modern baru dimulai satu abad setelah penemuan fenomena fotovoltaik pertama, yakni ketika tiga peneliti Bell Laboratories di AS (Chapin, Fullr dan Pearson) secara tidak sengaja menemukan bahwa sambungan dioda pn dari silikon mampu membangkitkan tegangan listrik ketika lampu laboratorium dinyalakan. Pada tahun yang sama, usaha mereka telah berhasil membuat sebuah sel surya pertama dengan efisiensi sebesar 6%. Dari titik inilah penelitian sel surya akhirnya berkembang hingga saat ini, dengan banyak jenis dan teknologi pembuatannya.

3. Berapakah efisiensi sel surya saat ini?

Saat ini, efisiensi sel surya dapat dibagi menjadi efisiensi sel surya komersil dan efisiensi sel surya skala laboratorium.

Sel surya komersil yang sudah ada di pasaran memiliki efisiensi sekitar 12-15%. Sedangkan efisiensi sel surya skala laboratorium pada umumnya 1,5 hingga 2 kali efisiensi sel surya skala komersil.

Hal ini disebabkan pada luas permukaan sel surya yang berbeda. Pada sel surya di pasaran, sel yang dipasarkan pada umumnya memiliki luas permukaan 100 cm2 yang kemudian dirangkai mejadi modul surya yang terdiri atas 30-40 buah sel surya. Dengan semakin besarnya luas permukaan sel surya, maka sudah menjadi pengetahuan umum jika terdapat banyak efek negatif berupa resistansi sirkuit, cacat pada sel dan sebagainya, yang mengakibatkan terdegradasinya efisiensi sel surya.

Pada sel surya skala laboratorium, luas permukaan sel yang diuji hanya berkisar kurang dari 1 cm2. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kondisi ideal sel surya yang bebas dari cacat maupun resistansi ketika dihubungkan ke sebuah sirkuit. Disamping itu, kecilnya luas permukaan sel surya memudahkan proses pembuatannya di mana alat yang dipakai di dalam laboratorium ialah alat yang berukuran kecil.

4. Apakah sel surya sudah diproduksi di Indonesia?

Sepanjang pengetahuan penulis, level produksi sel surya di Indoneisa masih dalam tahap assembly atau perakitan yang beberapa bahannya diimpor dan sebagian diproduksi di dalam negeri. PT LEN sejauh ini mempu membuat sel surya tersebut. Secara khusus, pabrik sel surya di Indonesia masih etrbilang sangat langka. Produk produk sel surya yang dipasarkan di Indonesia mayoritas merupakan hasil impor.

5. Seberapa besar potensi yang dimiliki oleh negara kita untuk mengembangkan teknologi sell surya ?

Sel surya mengandalkan siraman sinar matahari dengan intensits yang memadai. Dengan letak geografis Indonesia di khatulistiwa dengan jaminan limpahan sinar matahari sepanjang tahun tidak mengalami perubahan berarti, maka sel surya patut menjadi salah satu bentuk energi masa depan yang perlu dikembangkan oleh anak bangsa. Hal ini pula didukung oleh efisiensi sel surya yang terus meningkat plus biaya produksi nya yang semakin kecil.

6. Untuk dapat beroperasi, sarana pendukung apa saja yang dibutuhkan?

Sel surya hanya merupakan satu komponen penyerap cahaya yang langusng mengkonversi cahaya tsb menjadi litstrik. Agar listrik dari sel surya ini dapat dimanfaatkan, maka sel surya membutuhkan apa yang disebut dengan Balance of System (BOS) yang paling minim terdiri atas; inverter (mengubah listrik DC dari sel surya menjadi listrik AC untuk keperluan sehari hari), baterei (untuk menyimpan kelebihan muatan listrik guna pemakaian darurat atau malam hari), serta beberapa buah controller untuk mengatur secara optimal daya keluaran sel surya.

7. Berapa harga sel surya lengkap berikut komponen pendukungnya?

Secara umum, harga sel surya berikut BOS sekitar US$ 8-10/Watt. Harga ini harga sel surya tanpa adanya subsidi atau potongan harga dsb. Dan biaya sel surya biasa dikonversi ke dalam satuan US$/Watt. Jika seseorang ingin membeli sel surya untuk keperluan penerangan rumah tangga yang sekitar 900 Watt, maka secara kasar biaya yang perlu dikeluarkan (diinvestasikan?) sebesar 900 Watt x US$ 8 = US$ 7200. Harga ini sudah termasuk biaya pemasangan dan beberapa komponen pendukung untuk dipasang di atap sebuah rumah. Dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah (subsidi, potongan harga, kredit pembelian dsb) harga sel surya ini dapat ditekan hingga hanya tinggal 30% saja.

8. Mengapa harga sel surya terbilang sangat mahal dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh pembangkit konvensional?

Ada beberapa alasan untuk ini;

Pertama, sel surya mengandalkan bahan silikon sebagai material penyerap cahaya matahari. Dan harga silikon ini meningkat seiring dengan permintaan industri semikonduktor ditambah dengan suplai bahan baku silikon yang terbatas. Silikon yang dipakai sebagai bahan dasar chip di dunia mikroelektronika/semikonduktor ini semakin dibutuhkan mengingat adanya peningkatan tajam untuk produksi peralatan elektronika mulai dari komputer, monitor, televisi dsb. Hal ini diperparah dengan jenis sel surya yang paling banyak dipasarkan di dunia yakni sel surya jenis silikon sehingga sel surya secara langsung harus berkompetisi dengan industri lain untuk mendapatkan bahan baku silikon.

Kedua, perlu digaris bawahi bahwa harga listrik konvensional sebagai bahan perbandingan harga listrik sel surya ialah harga setelah mendapat subsidi. Subsidi ini dimaksudkan agar listrik dapat menjangkau segala lapisan masyarakat, sedangkan sel surya sebaliknya, tidak mendapat subsidi atau dukungan yang membuat harga sel surya terasa mahal. Sebagai perbandingan, di negara-negara yang sudah mapan memanfaatkan sel surya, pemerintah negara-negara tersebut sudah memberlakukan segala program kebijakan agar sel surya dapat memasyarakat semisal subsidi, kredit pembelian, feed-in-tariff dan sebagainya. Sebagai contoh di Korea Selatan, harga sel surya yang dibeli oleh konsumen setempat mampu ditekan hingga 70% sekitar US$ 3 hingga 4 per Watt-nya.

9. Di mana kita bisa mendapatkan produk sel surya di Indonesia dan berapa harganya ?

Mungkin paling mudah melacaknya di Internet.
Kebetulan juga, salah seorang pengunjung Blog ini pernah memberi info adanya sebuah webste portal belanja produk-produk kita. Silakan klik link berikut ini

Indonetwork.com

Di sana, kita dapat menemukan beberapa toko di bilangan Jakarta yang menyediakan produk berikut perangkat penunjang sel surya. Beberapa toko memasarkan sel surya dengan harga Rp. 5 Juta/50 Watt modul sel surya. Harganya mengikuti harga pasaran internasional ~ US$ 10/Watt kira-kira.

Penelitian

sel-surya-antariksa-iss.jpg

Sel surya merupakan sebuah bidang penelitian yang sangat luas, melibatkan berbagai disiplin ilmu dan dana investasi maupun penelitian yang besar.

Tidak kurang dari 10 jenis sel surya tengah dikembangkan saat ini. Penerapan dari teknologi sel surya sendiri sangat luas sebagai salah satu sumber energi masa depan. Mulai dari pedesaan, perkotaan hingga luar angkasa, sel surya tengah diposisikan sebagai salah satu bentuk energi ideal masa depan yang bersih yang ketersediaannya berlangsung dalam jangka waktu yang relatif panjang. Sebagai contoh, International Space Station (ISS) sebagai stasiun dan laboratorium luar angkasa memiliki sel surya sebagai sumber energi utamanya, bisa dilihat di cuplikan gambar di atas.

Teknologi sel surya dapat dikatan menyangkup banyak hal; teori mengenai proses mekanisme bekerjanya sel surya, pembuatan dan pengamatan sifat-sifat material penyusun sel, pencarian material alternatif penyusun sel, integrasi material penyusun menjadi satu sel utuh, pembuatan alat (device) sel hingga modul surya, simulasi serta optimalisasi rangkaian listrik untuk sel surya dsb dsb. Masing-masing bidang ini membutuhkan spesialisasi khusus atau displin ilmu yang berbeda untuk mewujudkan tujuan utama penelitian dan pengembangan sel surya di dunia; yakni meningkatkan efisiensi sel surya. Gambar di bawah ini ialah peta jalan (road map) efisiensi sel surya dalam kurun waktu 25 tahunan.

peta-jalan-sel-surya.jpg

Latar belakang ilmu dan rekayasa material (material science and engineering) memaksa saya untuk menekuni beberapa bidang dasar yang menunjang aktifitas penelitian sel surya; teknologi vakum (vacuum technology), teknologi lapis tipis (thin film technology), solid state physics and chemistry, semiconductor physics and devices dan sebagainya.

Bidang garapan penelitian saya sendiri ialah berkutat pada sintesis atau pembuatan material sel surya jenis lapis tipis (thin film solar cells) dengtan menggunakan jenis material tipe chalcopyrite CuInSe2 dan turunannya CuInGaSe2 sebagai bahan penyerap sinar matahari. Struktur kristal dan atom dari CuInSe2 dapat dicermati di gambar berikut. Atom Indium (In) dapat diganti dengan atom Galium (Ga) membentuk CuInGaSe2.

struktur-kristal-chalcopyrite-cuinse2.jpg

Menggunakan peralatan physical vapor deposition, lapisan penyerap sinar matahari ini dapat disintesa dengan ketebalan 1-2 micrometer. Saya menggunakan teknik sputtering (lihat skema di bawah berikut ini) untuk membuat lapisan CuInSe2 pada substrat kaca degan ketebalan sekitar 1-2 mikron.

teknik-sputtering.jpg

Aspek penelitiannya terkonsentrasi pada sintesa dan pengamatan sifat-sifat material lapis tipis yang berhasil dibuat; semisal analisa kristal struktur, analisa sifat optik dan elektrik. Perlu diketahui, lahan penelitian di bidang ini sudah menjadi sebuah hot topics di dunia sel surya.

Struktur sel surya lapis tipis CuInSe2 dapat dicermati melalui skema di bawah ini.

cis-struktur-sel.jpg

Sel tersebut terdiri atas substrat kaca yang dilapisi berturut-turut lapisan Molibdenum (Mo) setebal 1 mikron sebagai elektroda bawah (kutub positif), lapisan CuInSe2 setebal 1-2 mikron sebagai lapisan penyerap matahari (semikonduktor tipe p), lapisan CdS sebaagai lapisan buffer dengan ketebalan ~50 nanometer, lapisan ZnO (semikonducktor tipe n) sebagai lapisan transparans elektroda dengan ketebalan ~500 nanometer, dan sedikit lapisan Nikel sebagai elektroda atas (kutub negatif).

Lantas mengapa sel surya lapis tipis?

Well, hal ini dapat dimengerti mengingat semakin tipisnya material sel surya, maka semakin sedikit pula bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat sebuah sel surya. Di samping itu, sel surya konvensional jenis silikon seperti yang sekarang ini dipasarkan memiliki keterbatasan suplai bahan baku silikonnya. Dan yang juga cukup penting dipertimbangkan ialah, dengan mempelajari jenis material baru bertipe CuInSe2, potensi peningkatan sel surya merupakan sebuah keniscayaan. Secara proses produksi, pembuatan sel surya lapis tipis lebih singkat dan relatif tidak membutuhkan investasi sebesar sel surya silikon.

Melihat masih panjangnya penelitian sel surya jenis lapis tipis, CuInSe­2 ini diproyeksikan untuk apliaksi sel surya masa depan.

Beberapa hasil penelitian dari laboratorium terkait dengan pembuatan/sintesa material penyerap sinar matahari dapat di lihat di bawah ini.

Original Paper

2005

Y.H. Jung, E.S. Lee, B. Munir, R.A. Wibowo, K.H. Kim,
Structure and Properties of Sputtered Indium Tin Oxide Thin Film
Journal of Korean Institute of Surface Engineering, 38 (2005) pp. 150-155
.
Kyoo Ho Kim, Young Hee Jung, Badrul Munir, Rachmat Adhi Wibowo,
Structure and properties of Indium-Tin Oxide Thin Films sputtered from different target densities,
Journal of Korean Institute of Surface Engineering, 38 (2005) pp. 179-182.

2006

Rachmat Adhi Wibowo, Badrul Munir, Kyoo Ho Kim,
Properties of Al-doped ZnO thin films sputtered from powder compacted target
Materials Letters 60 (2006) 1931-1935

2007

Badrul Munir, Rachmat A. Wibowo, Eunsoo Lee and Kyooho Kim
Growth of Cu(In1-xAlx)Se2 Thin Films by Selenization of Sputtered Precursors
Solid State Phenomena 124-126 (2007) pp. 931-934

Rachmat Adhi Wibowo, Eun Soo Lee Badrul Munir, Kyoo Ho Kim,
Pulsed laser deposition of Cu2ZnSnSe4 thin films
Physica status solidi (a), 204 (2007) 3373-3379.

Rachmat Adhi Wibowo, Woo Seok Kim, Eun Soo Lee Badrul Munir, Kyoo Ho Kim,
Single step preparation of quaternary Cu2ZnSnSe4 thin films by RF magnetron sputtering from binary chalcogenide targets
Journal of Physics and Chemistry of Solids, 68 (2007) 1908-1913.

Badrul Munir, Rachmat A. Wibowo, Eunsoo Lee and Kyooho Kim,
One step deposition of Cu(In1-xAlx)Se2 thin films by RF magnetron sputtering
Journal of Ceramics Processing Research 8 (2007) Accepted, In press

Rachmat Adhi Wibowo, Woo Seok Kim, Eun Soo Lee Badrul Munir, Kyoo Ho Kim
Growth and Properties of Stannite-Quaternary Cu2ZnSnSe4 Thin Films Prepared by Selenization of Sputtered Binary Compound Precursors
Advanced Materials Research 29-30 (2007) pp. 79-82.

2008

Kim Kyoo Ho, Rachmat Adhi Wibowo
Study on Indium-free and Indium-reduced thin film solar absorber materials for photovoltaic application

Journal of Korean Society for New and Renewable Energy, Vol. 3. No. 4, 2008, pp.54-62.


Conference paper

2005

R.A. Wibowo, B. Munir, Seop-Seung Oh, Do-Young Lee, Kyoo-Ho. Kim,
Effect of Al2O3 Concentration in Powder Compacted Target on Sputtered Al-doped ZnO Thin Films

15th International Photovoltaic Science and Engineering Conference PVSEC, Shanghai - China, October, 10-15, 2005.

R.A. Wibowo, B. Munir, K.H. Kim,
Structural, Optical and Electrical Properties of Al-doped ZnO Thin Film Grown in Hydrogen-Incorporated Sputtering Gas
1st Conference of Korea Society of New and Renewable Energy, KSNRE, Jeju Island, Korea, June 17-18, 2005.

2006

Rachmat Adhi Wibowo, Woo Seok Kim, Eun Soo Lee, Badrul Munir and Kyoo Ho Kim,
Preparation and Characterization of Quaternary Cu2ZnSnSe4 Thin Films by Pulsed Laser Deposition
The 2nd Asia-Oceania Ceramic Federation (AOCF), Daegu, Korea, October 18-20, 2006.

Rachmat Adhi Wibowo, Woo Seok Kim, Eun Soo Lee, Badrul Munir and Kyoo Ho Kim,
Preparation of Stannite-Quaternary Cu2ZnSnSe4 Thin Films by RF Magnetron Sputtering
2006 Korea Institute of Metals and Materials Autumn Meeting, Jeju Island, Korea, October 26-27, 2006

Eun Soo Lee, Rachmat Adhi Wibowo, Badrul Munir and Kyoo Ho Kim,
Characteristics of Al-doped ZnO films grown in sputtering gas containing low hydrogen concentration
IUMRS-ICA-2006, September 10-14, 2006, Jeju, Korea

Badrul Munir, Rachmat Adhi Wibowo, Eun Soo Lee, and Kyoo Ho Kim,
Growth of Cu(In1-xAlx)Se2 thin films by selenization of sputtered precursors

IUMRS-ICA-2006, September 10-14, 2006, Jeju, Korea

Rachmat Adhi Wibowo, Eun Soo Lee, Badrul Munir, Kyoo Ho Kim
Growth and Properties of Stannite-Quaternary Cu2ZnSnSe4 Thin Films Prepared by Selenization of Sputtered Binary Compound Precursors

4th International Conference on Advanced Materials and Processing, December 10-13, 2006, Hamilton, New Zealand

2007

R.A. Wibowo, E.S Lee and K.H. Kim,
Quaternary Cu2ZnSnSe4 (CZTSe) thin films as a potential solar absorber for photovoltaic applications,
International Symposium on Nanovision Science and The 9th Joint International Conference on Advance Science and Technology, Shizuoka University, Japan, January 23-24, 2007.

Badrul Munir, Rachmat Adhi Wibowo, and Kyoo Ho Kim,
Synthesis of Cu(In0.75Al0.25)Se2 thin films from binary selenides powder compacted targets by sputtering and selenization

The 8th International Symposium on Nanocomposiyes and Nanoporous Materials
February 22-24, 2007, Jeju, Korea

Rachmat Adhi Wibowo, Pyo Joon Kook, Kyoo Ho Kim,
Sputtering Deposition of CuInSe2 and CuInZnSe2 Thin Films using Mixture Binary Chalcogenide Powders,
3rd Conference of Korea Society of New and Renewable Energy, KSNRE, Jeju Island, Korea, June 21-22, 2007.

Rachmat Adhi Wibowo, Kyoo Ho Kim
Characterization of sputtered CuInZnSe2 thin films from binary selenides powder compacted targets
17th int’l Vacuum Congress and 13th Int’l Conference on Surface Science, July 2-7, 2007, Stockholm , Sweden.

Rachmat Adhi Wibowo, Kyoo Ho Kim,
Study on Indium-reduced and Indium-free solar absorber materials for photovoltaic application,
4rd Conference of Korea Society of New and Renewable Energy, KSNRE, Busan, Korea, November 6-7, 2007.

Rachmat Adhi Wibowo, Kyoo Ho Kim,
Band gap engineering of RF sputtered CuInZnSe2 thin films for Indium-reduced thin film solar cell application, 17th International Photovoltaic Science and Engineering Conference (PVSEC-17), Fukuoka, Japan, December 2-7, 2007.

Rachmat Adhi Wibowo, Kyoo Ho Kim,
Stoichiometric control of stannite-quaternary Cu2ZnSnSe4 thin films by sputtering method, 17th International Photovoltaic Science and Engineering Conference (PVSEC-17), Fukuoka, Japan, December 2-7, 2007.

Membuat Sel Surya Sendiri? Bagian 2 : Proses Pembuatan Sel Surya

Secara singkat, proses pembuatan sel surya jenis silikon telah dipaparkan di Blog ini. Hanya saja, yang penulis paparkan hanyalah prosesnya tanpa menuliskan secara rinci sejauh apa konsep dan peralatan yang dibutuhkan, apalagi besar biaya investasinya. Sama kasusnya dengan pengolahan pasir silika menjadi silikon, pembuatan sel surya ini melibatkan aktifitas yang melibatkan proses high-technology, yakni nanoteknologi.

Artikel ini mencoba mengupas kemungkinan membuat sel surya secara mandiri seperti yang sempat dilontarkan oleh rekan pengunjung Blog ini beberapa waktu lalu;

Makhfud berkata:

Saya ingin belajar cara membuat solar cell, ingin tahu brapa biaya yang di butuhkan dalam membuat solar cell, serta cara pemasangannya, mohon bantuannya saya butuh lebih banyak lagi artikel tentang solar cell.

Begini….

Pada dasarnya, pembuatan sel surya tidak ubahnya pembuatan microchip yang ada di dalam peralatan elektronika semisal komputer, televisi maupun alat pemutar musik digital MP3. Banyak teknologi yang dipakai oleh sel surya mengadopsi dan mengadaptasi teknologi pembuatan microchip karena teknologi microchip sudah mapan jauh sebelum booming sel surya yang baru muncul belakangan di akhir 1980-an.

Teknologi pembuatan microchip maupun sel surya sama-sama bersandar pada konsep nanoteknologi. Yakni sebuah konsep revolusioner dalam merekayasa perilaku dan fungsi sebuah sistem pada skala molekul atau skala nanometer (berdimensi ukuran se-per-milyar meter). Sistem yang dimaksud ini dapat berupa molekul-molekul, ikatan kimia, hingga atom-atom yang menyusun sebuah produk. Yang direkayasa ialah perilaku atom atau molekul-molekulnya tadi dengan jalan menyesuaikan kondisi pembuatan atau lingkungan molekul atau atom yang dimaksud.

Gambar 1. Sebuah gambaran konsep dari Nanoteknologi. Saking kecilnya produk nanoteknologi, hingga seekor semut pun dapat turut membantu mengangkat sebuah microchip.

Sebagai contoh nyata yang umum pada dunia akademik maupun industri mikrochip ialah, kita dapat mengatur di mana sebuah molekul atau atom tersebut menempel di bagian tertentu pada komponen microchip atau sel surya, atau “memrintahkan” ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika arus listrik atau temperatur disesuaikan. Pengaturan atau perekayasaan perilaku molekul atau atom ini sangat berguna untuk menyesuaikan produk sebuah teknologi untuk keperluan sehari-hari. Hal ini terlihat jelas jika melihat kegunaan komputer dewasa ini yang semakin cepat dan poweful justru ketika ukuran prosesor-nya semakin kecil dan memori yang semakin padat. Atau kita melihat bagaimana rekayasa molekul dapat menghasilkan tanaman yang mengasilkan buah dan bibit yang berkualitas lebih unggul.

Gambar 2. Perbesaran dari bagian internal sebuah prosesor komputer/semikonduktor.

Yang kadang terlupakan, nanoteknologi tidak hanya menyentuh persoalan bagaimana membuat, namun juga bagaimana menguji dan mengamatinya, yang jelas membutuhkan alat yang sama-sama berangkat dari konsep yang sama dan dimensi ukuran yang sama. Semisal, ketika ingin mengetahui sebuah produk apakah bagus atau tidak, maka perlu melalui serentetan pengujian dan analisa yang berujung pada sebuah kesimpulan bagus atau jeleknya sebuah produk. Jika produknya memiliki ukuran satu helai rambut dibelah 1000, maka alat penguji dan pengamatnya harus mampu menjejak dengan ketelitian hingga sebesar itu pula.

Perlu penulis tegaskan, nenoteknologi ini ialah konsep yang sangat mahal, mahal dalam arti kata sebenarnya. Sangat banyak prasyarat maupun biaya yang harus dipenuhi sebelum memulai sebuah penelitian dalam skala nanoteknologi, apalagi untuk membawanya ke arah komersialisasi yang melibatkan investasi yang tidak sedikit dan kerumitan yang tinggi.

Ada syarat kebersihan ekstra jika kita hendak mengadopsi konsep nanoteknologi. Semakin kecil sebuah produk, maka jika ada kotoran atau debu saja yang menempel pada produk tersebut (yang notabene berukuran sama), maka produk nanoteknologi tersebut tidak akan berfungsi dengan baik. Sehingga, salah satu investasi ekstra jika hendak menekuni nanoteknologi ialah membangun fasilitas entah itu pabrik atau laboratorium yang sangat-sangat bersih sesuai dengan standar yang berlaku, yang disebut dengan Clean Room (lihat gambar 3 berikut).

Gambar 3. Situasi di sebuah Clean Room. Perhatikan baju khusus anti debu yang dipakai para pekerja di sebuah Clean Room.

Standar pembuatan sel surya jenis silikon melalui beberapa proses implantasi (pemasukan) atom-atom lain ke dalam material silikon yang melibatkan proses kimiawi difusi gas pada temperatur di atas 800 derajat Celcius. Proses ini apabila tidak teliti akan mengakibatkan kebocoran dan sangat berbahaya karena mempergunakan gas yang beracun bagi kesehatan. Alat yang dipergunakan sendiri jelas harus mampu membangkitkan, mengatur dan mempertahankan proses di dalam temperatur tinggi tersebut. Pembuatan sel surya sendiri melalui beberapa tahap proses yang serupa dengan proses implantasi ini dalam temperatur yang berbeda-beda. Jelas tidak boleh terdapat adanya pengotor semacam debu yang ditolerir selama proses berlangsunng karena bila ada, maka sel surya akan gagal total.

Sebenarnya. jika kita melihat alat dan proses yangterlibat dalam pembuatan sel surya secara langsung, maka kesan angker dan sakralnya proses tersebut akan hilang dengan sendirinya (lihat gambar 4 di bawah ini). Prosesnya melibatkan otomatisasi dan komputerisasi. Alatnya sendiri terbungkus rapi di dalam sebuah lemari besi berjendela kaca sehingga aman ketika dioperasikan. Hanya saja, untuk berinvestasi membeli, mempergunakan serta merawat alat tersebut, biaya yang dikeluarkan sangatlah mahal untuk ukuran kita sehingga mustahil bagi industri kecil apalagi perseorangan untuk membuat sel surya sendiri. Terlebih dalam menyediakan gas khusus yang dibutuhkan untuk implantasi atom yang tidak sembarangan dalam penanganannya.

Gambar 4. (Atas) Salah satu alat untuk melakukan proses difusi atom ke dalam silikon yang mengandalkan plasma. (Bawah) Tipikal alat pembuatan sel surya yang telah terintegrasi dan terkompuiterisasi

Kerumitan pembuatan sel surya ada pada tahap pengecekan efisiensi sel yang baru dibuat. Memeriksa apakah sel surya itu dapat berfungsi dengan baik dan dengan efisiensi yang baik membutuhkan peralatan tersendiri dan tidak sembarangan untuk sekedar dirakit. Peralatan ini mensimulasikan besarnya energi cahaya matahari dan harus dikalibrasi dengan standar tertentu. Simulasi ini harus mendekati kondisi sebenarnya penyinaran cahaya matahari. Alat yang dperlukan untuk ini ialah solar simulator yakni alat yang mensimulasikan energi cahaya matahari dan mengukur respon sel surya terhadap cahaya matahari yang akhirnya menghitung efisiensi sel surya.

Gambar 5. (Atas) Prinsip kerja sebuah Solar Simulator, (Bawah) Solar simulator yang dijual di pasaran.

Untuk meniru energi yang dipancarkan oleh matahari, Solar Simulator ini dilengkapi dengan lampu yang berisi gas Xenon yang mampu memberikan kondisi yang nyaris persis sama dengan matahari. Sel surya yang hendak diukur efisiensinya, diletakkan di bagian yang telah ditentukan. Hasil akhir dari simulasi ini ialah berapa besar efisiensi dan daya yang mampu dihasilkan oleh sebuah sel surya. Biasanya pengukuran ini dilakukan pada tahap paling akhir pembuatan sel surya.

Apa yang dapat kita dilakukan?

Penulis melihat meski sel surya tidak dapat dikembangkan secara sembarangan, ada beberapa hal yang perlu dicermati sebagai pintu masuk terlibatnya masyarakat kita turut aktif mengembangkan sel surya. Penulis urutkan dari tingkatan paling ideal hingga yang paling realistis untuk dilakukan.

1. Peleburan dan pembuatan wafer silikon

Kalau negara kita mengklaim memiliki kekayaan alam pasir silika yang dapat diolah menjadi silikon, maka ini perlu dibuktikan dengan memproduksi sendiri silikon yang diperlukan. Negara kita cukup mampu dalam mengolah bijih-bijih logam dan mustinya mampu pula mengolah pasir silika menjadi bijih silikon. Namun, jika kemampuan finansial maupun teknik bangsa kita masih kalah jauh dengan negara yang sudah maju dalam pembuatan wafer silikon monokristal untuk semikonduktor, maka cukuplah membidik pangsa pasar wafer silikon polikristal untuk sel surya yang level pembuatannya relatif lebih mudah dilakukan.

Gambar 6. pasir silika, menunggu untuk diubah menjadi sel surya.

Sejatinya, industri wafer silikon ialah sebuah industri strategis berteknologi tinggi. Posisinya sama dengan industri dirgantara, kapal laut maupun industri baja. Hal ini berkaitan dengan peran vital silikon dalam industri elektronik. Tidak ada industri elektronik manapun yang tidak membutuhkan silikon. Bila sebuah gedung dapat berdiri tegak karena memanfaatkan baja dan pesawat dapat terbang karena menggunakan aluminium, maka komputer dan alat elektronika lain dapat berfungsi karena adanya wafer silikon ini.

Apabila negara kita dapat memiliki industrri strategis di bidang ini, maka kontribusi Indonesia terhadap industri dunia menjadi sangat siginifikan. Sebagai contoh terdekat dengan penulis saat ini, Korea Selatan saat ini menjadi pemimpin dalam bidang memori RAM komputer dengan merek Samsung maupun Hynix. Meski demikian, merka tetap bersikeras membuat wafer silikon sendiri demi mengurangi ketergantungan industri memorinya dari wafer silikon buatan luar. Efek positif dari pembuatan wafer sendiri ialah tingkat kecepatan suplai bahan baku wafer serta meningkatnya sisi konpetitif dan ekonomis dari memori buatan Korea di pasar dunia.

2. Impor mesin-mesin pembuatan sel surya.

Langkah China dalam memasarkan sel surya di negaranya maupun di pasaran dunia cukup menarik untuk dicermati. Industri-industri China tidak membuat material dasar wafer silikon untuk sel surya karena mereka tahu investasinya akan sangat besar. Mereka juga tidak memiliki kemampuan dalam membuat mesin-mesin yang dipergunakan pabrik-pabrik mereka untuk membuat sel surya dalam skala besar.

Gambar 7. Mesin pembuat sel surya yang telah terintegrasi. Perlu ada investasi untuk membelinya dari luar negeri.

Hanya saja, strategi mereka ialah, mengimpor mesin-mesin pabrik dari Jerman sebagai bahagian dari investasi, serta mengimpor material silikon khusus untuk sel surya dari negaa-negara lain semisal, Jerman, Jepang dan Korea Selatan. Keunggulan komparatif upah pekerja yang murah, membuat sel-sel surya made in China saat ini bersaing di pasaran sel surya Eropa selain menjadi tuan rumah di negara sendiri tentunya. Hal ini penulis saksikan sendiri dalam ajang pameran dan konferensi ilmiah sel surya tahun 2005 di Shanghai, China. Mungkin strategi ini dalam jangka pendek bisa diterapkan di Indonesia.

3. Industri assembly.

Kerumitan pembuatan sel surya tidak terlalu ditemui pada proses enkapsulasi sel surya menjadi sebuah modul surya. Sebagai informasi, sel surya sendiri berukuran sekitar 5 x 5 atau 10 x 10 cm persegi. Sel sebesar ini hanya dapat mengkonversi cahaya matahari menjadi listrik berdaya sekitar 1 - 2 Watt saja. Untuk dapat digunakan secara praktis, seitar 30 hingga 50 buah sel surya ini dirangkaikan satu sama lain agar menghasilkan daya keluaran sekitar 50 hingga 75 Watt. Rangkaian sel surya ini disebut dengan modul surya dan modul surya-lah yang sebenarnya dijual dipasaran yang terdiri atas sekian buah sel surya (Gambar 8). Dengan menata seberapa besar kebutuhan listrik, maka tinggal dihitung saja berapa banyak modul surya yang perlu dibeli, kemudian digabung dan dirangkaikan kembali agar menghasilkan daya keluaran sesuai dengan kebutuhan listrik rumah tangga misalnya. Rangkaian modul surya ini disebut dengan panel surya.

Gambar 8. Contoh modul sel surya yang dipasarkan. Perhatikan adanya sel surya di dalam modul yang telah dirangkai dan dienkapsulasi menjadi satu susunan besar modul surya.

Sejauh yang penulis ketahui, proses enkapsulasi sel surya menjadi modul surya relatif lebih mudah dilakukan oleh industri menengah karena inti kegiatannya sama dengan proses assembly, atau merangkai sesuatu dari komponen-komponen yang sudah jadi. PT LEN, sebuah BUMN konon kabarnya sudah mampu meng-assembly sel surya menjadi modul surya yang siap dipasarkan. Melalui langkah ini. industri assembly sel surya tidak perlu berinvestasi pada penambangan, peleburan dan pembuatan wafer silikon. Jalan umum yang diambil hanyalah mengimpor sel surya yang sudah jadi, kemudian merangkainya menjadi modul dan menjualnya kembali ke pasaran.

4. Pembuatan komponen pelengkap sel surya.

Hal terakhir yang mungkin penulis sarankan ialah menekuni pembuatan komponen sel surya (disebut dengan balance of system lihat Gambar 8), semacam inverter DC ke AC, kabel-kabel, aki atau baterei, beberapa kontroler yang penulis yakin sudah cukup dikuasai industri elektronika di Indonesia. Jelas keuntungan produk Indonesia yang relatif murah mustinya dapat merajai pasar komponen untuk sel surya di tanah air. Sebagai tambahan, mungkin desain perumahan atau gedung yang siap merespon pemakaian sel surya di Indonesia dapat menjadi lahan bagus buat para arsitek.

Gambar 9. Komponen-komponen pelengkap sel surya agar dapat bekerja (Balance of System)

Antara Ilmu dan Investasi

Akhirul kalam, dengan menurunkan artikel ini, penulis agak khawatir telah menutup semangat dan cita-cita beberapa pengunjung Blog peminat sel surya yang berniat untuk mengusahakan sel surya sendiri, atau beberapa pihak yang telah melihat potensi alam Indonesia yang kaya pasir silika akan surut langkahnya untuk melirik energi alternatif lain di masa depan. Tidak kurang dari profesional, masyarakat awam hingga anggota direksi sebuah BUMN sempat menanyakan kemungkinan membuat sel surya sendiri.

Namun penulis berpegang bahwa itulah manfaat ilmu, yakni mengkaji dan meluruskan serta memberikan sebuah rekomendasi sebagai respon atas pandangan umum di tengah-tengah masyarakat mengenai sebuah produk teknologi, dalam hal ini sel surya. Sel surya sebagai produk teknologi tidak lepas dari peran investasi sebagai konsekuensi logis dari visi produksi massal sel surya guna mengatasi tantangan energi di masa depan. Tanpa investasi baik dalam tataran penelitian, pengembangan maupun produksi, hasil teknologi tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas melainkan teronggok di dalam lemari perpustakaan atau sekedar bahan laporan akhir atau sekedar karya ilmiah kecil.

Sebagai penutup, penulis menegaskan bahwa negara kita apalagi kita perseorangan, tidak mungkin alias mustahil membuat sel surya sendiri meski dengan menggunakan bahan-bahan alam dari bumi pertiwi tanpa investasi besar dan langkah yang serius. Mungkin pemerintah perlu segera membuat langkah nyata agar investor antuisias menanamkan modal untuk mengolah potensi silikon serta membangun iklim penelitian dan investasi di area sel surya yang kondusif. Dengan catatan, pemerintah musti sudah bervisi ke depan mempersiapkan konsep energi yang berkelanjutan, bersih dan murah.

Ramai-ramai membangun hunian swadaya energi

Di beberapa negara, tidak ketinggalan Korea Selatan, implementasi dari konsep energi hijau nan terbaharukan tengah menunjukkan hasilnya. Dengan mengambil asusmsi bahwa di masa depan bahan bakar fosil akan habis, naiknya permintaan energi, isu lingkungan hidup yang menyertai pendirian pembangkit nuklir yang beresiko dan berlimbah serta pencarian bentuk energi yang dapat menopang peradaban manusia seabadi mungkin tanpa dibarengi dengan potensi destruktf terhadap alam, maka energi hijau nan terbaharukan menjadi sebuah keniscayaan. Isu energi hijau menjadi sebuah isu penting manakalah orientasi warisan kepada anak cucu dan generasi mendatang menjadi acuan terlebih mengingat kehancuran lingkungan yang mengganas akhir-akhir ini. Melalui konsep energi hijau nan terbaharukan ini, ungkapan bahwa “negeri ini bukan warisan nenek moyang, namun merupakan titipan anak cucu kita” dapat dipahami.

Mulailah sebuah gerakan serempak ‘kembali ke alam”. Reorientasi kebijakan dan penerapan teknologi dalam melihat hubungan alam-manusia dalam perspektif baru telah melahirkan aktifitas-aktifitas manusia yang harmonis terhadap alam. Alam dan manusia akhirnya memiliki seamcam meomentum untuk memperbaiki hubungan yang buruk di masa lalu. Pemanfaatan sumber energi semisal minyak bumi dan gas alam terutama pada sektor rumah tangga sebagai salah satu konsumen utama minyak bumi mulai ditinggalkan secara bertahap, bahkan tengah diproyeksikan untuk mengganti secara total keberadaan sumber energi yang habis pakai ini. Jelas dengan pengurangan konsumsi minyak bumi dan gas alam, banyak hal yang diperoleh; pengurangan emisi karbon dioksida, pengehematan biaya, memperlambat akselerasi degradasi lingkungan, memperbaiki kualitas kesehatan serta meperpanjang kelestarian lingkungan.

Inovasi konsep hunian

Keharmonisan alam-manusia ini melahirkan inovasi-inovasi baik budaya perilaku maupun teknologi yang menerapkan perpaduan antara sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan dengan fasilitas penopang aktifitas keseharian yang sudah mapan.

Bentuk inovasi yang paling menonjol ialah rumah yang digenapi dengan seperangkat fasilitas penyuplai energi non-bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam yang dalam istilah konsepnya disebut dengan Building Integrated Photovoltaic (BIPV). Konsep BIPV ini berusaha memadukan konsep hunian idaman masa depan yang menyatu dengan alam sekaligus menyediakan energi sendiri (swadaya energi) guna mennyokong aktifitas penghuninya di dalam. Kata photovoltaic ini sendiri merujuk pada sistem pembangkit tenaga surya (photo = cahaya, voltaic= daya atau tegangan) yang terintegrasi dan menyatu dengan hunian baik rumah maupun gedung dengan berbasis pada sel surya.

Secara fisik, konsep hunian BIPV ini tidaklah berbeda dengan konsep hunian konvensional. Fungsi rumah dalam perspektif BIPV sebagai tempat tinggal dan aktifitas manusia juga memiliki konsep yang sudah terbangun sejak lama yakni hunian yang nyaman ditinggali, serta memiliki arsitektur sesuai dengan kondisi geografis maupun faktor budaya setempat selain memperhitungkan faktor kesehatan. Begitu pula dengan beberapa fasilitas yang jamak ditemui di sebuah hunian semisal taman dan tempat parkir kendaraan.

Perbedaan yang mencolok hanya ada pada bagian atap hunian. Jika pada konsep hunian konvensional, atap pada umumnya hanya berupa susunan genting dari keramik, dalam konsep BIPV atap hunian dihiasi dengan sekumpulan panel-panel surya yang terpasang disepanjang atau disebagian besar atap rumah. Jelas pemasangan panel-panel surya di bagian atap hunian diperuntukkan guna mendapatkan akses sinar matahari yang sebesar-besarnya untuk ditangkap dan diubah menjadi tenaga listrik. Jika konsep BIPV ini diterapkan pada bangunan perkantoran, sisi gedung di bawah jendela dimanfaatkan sebagai tempat di mana panel surya dipasang dengan mengatur sudut kemiringan panel. Pada konteks tertentu, susunan panel surya dengan desain dan lapisan khusus justru mengambil alih peran genting pada sebuah rumah sehingga tidak diperlukan lagi genting keramik yang berfungsi sebagai atap. Untuk BIPV di daerah pegunungan, beberapa tiang yang cukup tinggi untuk memasang panel dan pemanas surya dapat dipergunakan jika sinar matahari terhalang pepohonan, perbukitan atau pegunungan terutama ketika saat matahari terbit dan terbenam. Penghuni hunian berkonsep BIPV pun tidak perlu khawatir dengan problem cuaca maupun kondisi luar ruangan (curah hujan, faktor kelembaban udara, angin kencang, debu, panas, angin kering dsb) terhadap performa panel surya. Hal ini dikarenakan panel surya saat ini resistan terhadap segala jenis cuaca dan memberikan garansi pemakaian dan performa yang stabil dalam kurun 20-30 tahun.

bipv-2.jpg

(Sebuah contoh hunian dengan konsep BIPV dengan panel surya dan pemanas surya yang terpasang di atap.)

Beberapa penyesuaian pada konsep hunian konvensional diperlukan guna mendukung hunian dengan konsep hunian swadaya energi ini. Selain beberapa fasilitas tambahan berupa panel surya, fasilitas pemanas surya juga merupakan salah satu bagian integral pada konsep BIPV kini yang dimaksudkan untuk menghasilkan air panas untuk dipakai bagi keperluan rumah tangga sehari hari atau pada musim dingin (lihat “Ondol”, potret evolusi pemanfaatan energi surya di Korea). Konsekuensi dari adanya pemanas surya dan panel surya di sebuah hunian ialah diperlukannya sebuah ruangan extra untuk tangki penyimpanan air panas serta tempat bagi beberapa set baterei untuk menyimpan listrik hasil kerja panel surya. Ruangan khusus ini umumnya diletakkan di bawah tanah atau basement namun tidak menutup kemungkinan disediakan sebauh ruangan kecil khusus di samping rumah dengan fungsi yang sama.

Sebuah investasi

Pembangunan sebuah hunian dengan konsep BIPV tidaklah seragam. Hal ini diyakini karena di tiap negara, tingkat kebutuhan akan daya listrik, konsumsi energi per kapita, tingkat daya beli masyarakat, dukungan pemerintah serta harga fasilitas panel surya itu sendiri berbeda. Gambaran praktis didapat dengan mengaitkan tingkat Human Development Index (HDI) dengan konsumsi energi per kapita sebuah negara [1] di mana akses masyarakat terhadap energi listrik memiliki korelasi dengan kualitas hidup suatu negara. HDI sendiri diukur berdasarkan pada data harapan hidup (life expectancy), pendidikan (educational achievement) dan produk domestik bruto (gross national product) suatu negara [2].

Untuk kasus Korea Selatan misalnya, negara yang tergolong maju ini berada di peringkat ke-26 dari 177 negara yang dinilai menurut data HDI tahun 2006 [1]. Menurut data International Atomic Energy Agency (IAEA) Korea Sleatan memiliki tingkat konsumsi energi per kapita sebesar 53046.45 kWh/kapita [3]. Dari gambaran ini, tidak mengeherankan jika rata-rata panel surya yang dikembangkan di Korea Selatan untuk BIPV didesain menghasilkan daya maksimal 3 kW alias 3000 Watt pada tengah hari nan terik yang hampir sama dengan daya listrik yang terpasang pada hunian konvensional. Untuk Indonesia dengan tingkat konsumsi energi per kapita 6290.03 kWh/kapita dan rata-rata daya terpasang dari PLN pada hunian 450 – 900 W, maka panel surya yang dibutuhkan tidak lebih untuk menghaslkan daya sekitar 500 - 1000 W pada tengah hari yang terik.

bipv.jpg

(Yeungnam University Solar House, sebuah hunian konsep BIPV dengan panel surya (berwarna biru) dibagian ’sayap’ rumah dan pemanas surya (berwarna abu-abu) di atap serta bagian depan. Daya maksimum panel surya ialah bisa mencapai 10.000 watt atau 10 kilo-Watt pada tengah hari)

Pemerintah Korea Selatan sendiri dalam upayanya menyebarluaskan pemakaian sel/panel surya di hunian melalui konsep BIPV, telah memberikan skema subsidi yang cukup menarik, baik bagi konsumen sel surya maupun pihak pabrikan pnael surya. Skema subsidi di dalam pemanfaatan energi terbaharukan dirasakan mutlak demi meningkatkan daya saing produk energi terbaharukan dan merangsang konsumen untuk beralih dari energi konvensional ke energi terbaharukan. Hal ini tidak lepas dari masih mahalnya harga listrik per kilo-watt yang dihasilkan oleh produk energi terbaharukan semisal sel surya, dibandingkan dengan energi konvensional yang berpangkal dari masih rendahnya efisiensi sel surya yakni sekitar 10-13%.

Subsidi yang diterapkan pemerintah Korea Selatan merupakan subsidi untuk pabrikan sel surya. Agar dapat bersaing dengan listrik dari sumber energi konvensional, maka harga per watt dari panel surya harus ditekan hingga sekitar US$ 1/watt. Harga ini dibebankan kepada seluruh sistem panel surya termasuk infrastuktur dan baterei yang dikenal dengan Balance of System (BOS). Sehingga, jika seorang memutuskan untuk memasang sebuah panel surya lengkap denagn BOS berdaya 3000 watt, maka harga seluruh komponen ialah US$ 3000. Sejatinya, harga fasilitas panel surya untuk keperluan BIPV ialah US$ 30.000. Pemerintah memberikan subsidi langsung kepada pabrikan sekitar 70% dan pabrikan memberi potongan harga sebesar 10-20 % yang menjadikan harga di tangan konsumen ialah tinggal 10 % [4].

Dari titik ini, konsumen panel surya untuk BIPV sudah diberi kemudahan dari segi harga. Disamping itu, di Korea Selatan, listrik yang diproduksi oleh panel surya di sebuah BIPV dapat pula dijual ke perusahaan listrik setempat. Berbanding terbalik dengan hunian konvensional yang membeli listrik, BIPV selain memproduksi listrik secara swadaya juga dapat menjual liistrik ke perusahaan listrik atau semacam PLN di Korea dengan harga yang telah ditentukan. Di sini, konsumen BIPV kembali mendapatkan keuntungan. Sehingga, pembelian panel surya justru dilihat dari sebuah aktifitas investasi jangka panjang bagi para konsumen dengan keuntungan yang sangat menarik, di samping secara langsung berperan dalam kelestarian lingkungan hidup tentunya.

Siapa ingin mencoba?

Rujukan

[1] United Nations of Development Program, UNDP, http://www.undp.org

[2] Steven Hegedus et al. Handbook of Photovoltaic Science and Engineering, John Willey and Sons, 2005

[3] International Atomic Energy Agency, IAEA, http://www.iaea.org

[4] Perbincangan dengan Prof. Jae-sung Lee, Departement Bioindustry Yeungnam University, konsumen panel surya untuk BIPV

Membuat Sel Surya Sendiri? Bagian 1 : Pengolahan Silikon

Terdapat beberapa pertanyaan dari banyak pengunjung yang sayangnya belum sempat penulis respon. Banyak cara dan bentuk pertanyaannya, namun inti kesemuanya ialah sami mawon. Pertanyaan yang pertama berkaitan dengan adanya kemungkinan membuat atau merakit sel surya sendiri atau secara mandiri. Sedangkan pertanyaan kedua ialah pemanfaatan bahan baku sekitar untuk dijadikan sel surya lebih khusus lagi untuk sel surya jenis silikon yang saat ini merajai pasar sel surya. Nah, tulisan ini akan sedikit mengupas dua pertanyaan tersebut dengan cara menggabung dua pertanyaan di atas dalam dua artikel yang terpisah; bisakah kita membuat sel surya secara mandiri dengan berbahan baku alam sekitar?

Penulis yakin manisnya janji dan indahnya mimpi yang ditawarkan oleh teklnologi sel surya untuk menyediakan listrik dalam jangka panjang telah mengundang pemikiran-pemikiran bahkan niatan untuk mengembangkan sel surya sendiri di tanah air. Bentuk fisik sel surya yang terlihat amat sederhana, mudah dipasang dan cukup mudah dibawa , mengundang anggapan mudahnya membuat sel surya. Kemudian, setelah mengetahui bahwa bahan dasar sel surya jenis silikon sejatinya ialah pasir atau tanah mengandung silika yang banyak di jumpai di tanah air, bertambah lagi anggapan umum bahwa sel surya sangat mungkin dikembangkan di tanah air yang jelas aroma bisnisnya akan cukup menyengat di masa depan.

Seorang rekan pengunjung Blog ini menulis sebuah pertanyaan seperti di bawah. Pertanyaan ini penulis ambil sebagai sebuah sampel dari beberapa pertanyaan serupa sebelumnya dan artikel ini penulis persiapkan guna menjelaskan apa dan bagaimana pengolahan silikon dari pasir silika itu, serta menimbang-nimbang apakah produksi silikon untuk sel surya dapat kita lakukan atau tidak.

Eric Berkata:
September 12, 2008 pukul 5:16 pm

Salam kenal Pak Adhi..

Saya tertarik untuk memproduksi poli kristal ataupun mono krital silica. mengingat di tanah air terdapat banyak sekali pasir silika namun penggunaannya masih belum maksimal. Pertanyaan saya, apakah untuk mengkonversi silika dari alam menjadi poli/mono kristal memerlukan proses yg rumit? Dan berapakah kira2 biaya investasi yg dibutuhkan..

Terima kasih..

Silikon terdapat banyak di bumi. Ia merupakan unsur kedua terbanyak di kulit bumi setelah oksigen. Terdapat di alam dalam bentuk pasir silika atau yang dikenal juga degan quartz dengan rumus kimia SiO2. Tanah dimana kita pijak pun mengandung silikon. Sebagai contoh, di Indonesia penamnangan pasir silika ini dilakukan di Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah. Di pesisir pantai selatan Jawa juga diyakini memiliki kandungan pasir silika. Silikon yang dipakai untuk keperluan semikonduktor dan sel surya diambil dari hasil pemisahan Si dan O. Saat ini, penghasil silikon terbesar di dunia ialah Cina, Amerika, Brazil, Norwegia dan Prancis. Cadangan sumber daya silika dan ketersediaan tenaga listrik yang cukup besar menjadi alasan mengapa negara-negara di atas memimpin dalam menghasilkan silikon.

Butuh listrik besar.

Tahap pertama pembuatan silikon dimulai dengan jalan memisahkan silikon dari SiO2. Pemisahan ini dilakukan di dalam sebuah tanur (furnace) yang disuplai dengan listrik berkekuatan tinggi. Skema tanur untuk pemisahan silikon dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 1. Skema pemisahan/pembuatan silikon dari pasir silika. Diadaptasi dari sini.

Pasir silika dan karbon (C) secara bersamaan (gambar paling kiri) dimasukkan ke dalam tanur yang dilengkapi dengan elektroda tempat arus listrik mengalir masuk (gambar tengah). Silikon dipisahkan dengan jalan mereaksikan pasir silika dengan karbon pada suhu tinggi, yakni di atas 1900 hingga 2100 derajat celcius. Hal ini mengingat baik pasir maupun karbon merupakan dua zat padat yang mana reaksi akan berlangsung hanya pada saat mereka melebur/mencair/meleleh, ditambah lagi dengan titik leleh pasir silika yang di atas 1800 derajat Celcius. (Reaksi kimia tidak disertakan).

Tingginya suhu proses pemisahan silikon dari pasir silika membawa konsekuensi tingginya konsumsi listrik yang mutlak digunakan. Mengapa musti dengan listrik dan bukan dengan pembakaran? Pembakaran manapun tidak akan mampu mencapai suhu proses yang diperlukan untuk mereaksikan pasir silika dengan karbon, sehingga hanya dengan jalan mengalirkan aurs listrik besar-lah suhu proses ideal mampu dicapai.

Tercatat sekitar 10 hingga 30 MW (MegaWatt) listrik dibutuhkan dalam proses ini tergantung dari seberapa besar tanur yang dipakai. Tidak heran jika hanya negara-negara yang memiliki sumber daya listrik melimpah dan bersumber dari PLTN atau lainnya-lah yang dapat secara ekonomis memisahkan silikon dari pasir silika karena tenaga listrik yang dibutuhkan dalam proses ini sangatlah besar; sekitar sepersepuluh listrik yang dihasilkan oleh PLTU Muara Karang (300 MW) habis hanya untuk proses ini.

Gambar 2. PLTU Muara Karang. Sepersepuluh dari kapasitasnya yang 300 MW itu dibutuhkan untuk memisahkan silikon dari pasir silika.

Silikon yang dihasilkan dari pemisahan Si dan O pada pasir silika perlu dimurnikan kembali untuk mencapai kadar kemurnian silikon di atas 99%. Ada dua tahapan untuk memurnikan silikon hasil pemisahan pasir silika. Tahap pertama, silikon hasil pemisahan masih memiliki „pengotor“ berupa besi (Fe), aluminium (Al), kalsium (Ca) titanium (Ti) dan karbon (C) yang harus dikeluarkan. Tahapan ini dilakukan pada proses pemurnian persis setelah leburan silikon keluar dari tanur (Gambar kiri tengah). Proses ini melibatkan gas oksidatif yang dilakukan pada suhu 1700 derajat Celcius. Listrik berdaya besar masih diperlukan di tahap ini. Sampai tahapan ini, silikon yang dihasilkan disebut dengan metallurgical grade silicon dengan kadar pengotor dalam satuan bagian per sejuta (ppm, parts per million) yang sejatinya sudah cukup untuk dipergunakan untuk banyak keperluan.

Tahapan berikutnya, ialah persiapan dan pemurnian silikon untuk bahan dasar sel surya maupun semikonduktor atau yang disebut dengan semiconductor grade silicon. Tahap ini dilakukan di tempat lain yang terpisah dari proses pemisahan silikon. Untuk diketahui, silikon untuk keperluan semikonduktor membutuhkan kadar kemurnian yang sangat sangat tinggi yang berbeda dari metallurgical grade silicon. Di dunia semikonduktor, dikenal dengan „eleven-nine“ atau 11 angka 9 yang menyatakan kadar kemurnian silikon dalam persen; 99,999999999%. Silikon untuk keperluan semikonduktor harus memiliki unsur pengotor dalam satuan bagian per semilyar (ppb, parts per billion) atau bagian per setrilyun (ppt, parts per trillion). Sederhana saja, jika kadar kemurnian silikon di bawah nilai nominal tersebut, dapat dijamin bahwa sebuah prosesor atau memori komputer atau sel surya tidak dapat berjalan dengan baik.

Pemurnian silikon untuk keperluan sel surya maupun semikonduktor lain dilakukan dalam bentuk gas melalui proses yang disebut dengan proses Siemens. Silikon dari tahap pemurnian pertama (metallurgical grade silicon) direaksikan dengan gas asam klorida (HCl) untuk membuat gas silikon klorida. Proses reaksi ini dilakukan pada suhu 350 derajat Celcius.

Silikon klorida kemudian dimasukkan ke dalam reaktor Siemens (gambar di bawah) bersama-sama dengan gas hydrogen. Di dalam reaktor Siemens terdapat batangan umpan silikon (silicon feed rod) berbentuk U terbalik yang dipanaskan pada suhu 1100 derajat Celcius dan pendingin. Silikon klorida mengalami reaksi dekomposisi atau reaksi penguraian menjadi silikon pada permukaan batangan umpan silikon, dan silikon hasil penguraian ini menempel dan terendap di batangan tersebut. Semakin lama proses, semakin banyak silikon yang mengendap yang kemudian membesar menjadi silikon dengan kadar kemurnian 11 angka 9 di atas (reaksi kimia tidak disertakan).

Gambar 3. Skema diagram proses dan reaktor Siemens untuk memurnikan silikon. Diadaptasi dari sini.

Sampai di sini, silikon sudah memiliki kemurnian yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sel surya.

Silikon untuk sel surya

Sel surya dibuat dari silikon yang berbentuk bujur sangkar pipih dengan ukuran 5 x 5 cm atau 10 x 10 cm persegi. Ketebalan silikon ini sekitar 2 mm. Lempengan bujur sangkar pipih ini disebut dengan wafer silikon untuk sel surya. Bentuk wafer silikon sel surya berbeda dengan wafer silikon untuk semikonduktor lain (chip, prosesor komputer, RAM memori) yang berbentuk bundar pipih meski memiliki ketebalan yang sama (lihat gambar bawah).

Gambar 4. Wafer silikon untuk keperluan elektronika (bundar pipih) dan sel surya (persegi berwarna biru).

Wafer silikon ini dibuat melalui proses pembuatan wafer silikon dengan memanfaatkan silikon berkadar kemurnian tinggi sebelumnya (semiconductor grade silicon). Secara ringkas, penulis paparkan beberapa cara membuat wafer silikon untuk keperluan sel surya.

1. Wafer silikon jenis monokristal.

Mono kristal di sini berarti silikon tersebut tersusun atas satu kristal saja. Sedangkan jenis lain ialah wafer silikon polikristal yang terdiri atas banyak krstal. Wafer silikon monokristal dibuat melalui proses Czochralski (Cz) yang merupakan jantung dari proses pembuatan wafer silikon untuk semikonduktor pula. Prosesnya melibatkan peleburan silikon semiconductor grade, diikuti dengan pemasukan batang umpan silikon ke dalam leburan silikon. Ketika batang umpan ini ditarik perlahan dari leburan silikon, maka secara otomatis silikon dari leburan akan mennempel di batang umpan dan membeku sebagai satu kristal besar silikon. Suhu proses berkisar antara 1000-1200 derajat Celsius, yakni suhu di mana silikon dapat melebur/meleleh/mencair. Silikon yang telah membeku ini akhirnya dipotong-potong menghasilkan wafer dengan ketebalan sekitar 2 milimeter.

Gambar 5. Skema proses Cz untuk membuat wafer silikon. (Atas) Reaktor tempat pembuatan wafer slikon, (Tengah atas) Keadaan silikon yang tengat ditarik oleh batang pengumpan. Perhatikan warna silikon yang berpijar tanda masih dalam keadaan setengah cair/lelehan. (Tengah bawah) Ruangan pabrik pembuatan wafer silikon yang selalu terjaga kebersihannya dan seragam yang selalu dipakai pekerjanya. (Bawah) Wafer silikon yang dihasilkan (diameter 20-40 cm panjang bisa mencapai 1-2 m). Diadaptasi dari sini dan sini dan sini.

Gambar 6. Sel surya yang menggunakan bahan dasar silikon monokristal. Perhatikan warna biru yang homogen pada sel surya tersebut.

2. Wafer silikon jenis polikristal.

Wafer silikon monokristal relatif jauh lebih sulit dibuat dan lebih mahal. Silikon monokristal inilah yang digunakan untuk bahan dasar semikonduktor pada mikrochip, prosesor, transistor, memori dan sebagainya. Keadaannya yang monokristal (mengandung hanya satu kristal tunggal) membuat silikon monokristal nyaris tanpa cacat dan sangat baik tingkat hantar listrik dan panasnya. Sel surya akan bekerja dengan sangat baik dengan tingkat efisiensi yang tinggi jika menggunakan silikon jenis ini.

Namun demikian, perlu diingat bahwa isu besar sel surya ialah bagaimana menurunkan harga yang masih jauh dari jangkauan masyarakat. Penggunaan silikon monokristal jelas akan melonjakkan harga sel surya yang akhirnya justru kontraprduktif. Komunitas industri dan peneliti sel surya akhirnya berpaling ke jenis silikon yang lain yang lebih murah, lebih mudah dibuat, meski agak sedikit mengorbankan tingkat efisiensinya. Saat ini, baik silikon monokristal maupun polikristal sama sama banyak digunakan oleh masyarakat.

Gambar 7. (Atas) Salah satu contoh aktifitas peleburan material (logam, slikon, dll.) (Bawah) Sel surya berbahan baku silikon polikristal. Perhatikan warna terang gelap pada sel surya yang menandakan kristal kristal yang berbeda arah dan besarnya.

Pembuatan silikon polikristal pada intinya sama dengan mengecor logam (lihat Gambar di bawah). Semiconductor grade silicon dimasukkan ke dalam sebuah tungku atau tanur bersuhu tinggi hingga melebur/meleleh. Leburan silikon ini akhirnya dimasukkan ke dalam cetakan cor dan selanjutnya dibiarkan membeku. Persis seperti pengecoran besi, aluminium, tembaga maupun logam lainnya. Silikon yang beku kemudian dipotong-potong menjadi berukuran 5 x 5 atau 10 x 10 cm persegi dengan ketebalan kira-kira 2 mm untuk digunakan sebagai sel surya. Proses pembuatan silikon polikristal dengan cara ini merupakan proses yang paling banyak dilakukan karena sangat efektif baik dari segi ekonomis maupun teknis.

Secara umum, proses pembuatan sel surya mulai dari dari silikon dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Proses pembuatan sel surya sendiri telah diterangkan sebelumnya.

Perbandingan dengan industri besi dan baja

Sebagai penutup artikel ini, penulis mecoba membandingkan industri pengolahan silikon dengan industrui besi dan baja di tanah air. Sebagaimana kita ketahui, industri besi dan baja kita mengandalkan bahan baku dalam negeri dengan salah satu yang terbesar ialah PT Krakatau Steel (PT KS). Penulis pernah berkunjung ke PT KS beberapa tahun lalu dan melihat sendiri fasilitas yang dimilikinya, termasuk pelabuhan sendiri serta (kalau tidak salah) pembangkit listrik sendiri atau disuplai dari pembangkt listrik terdekat.

Industri pengolahan silikon hingga siap pakai untuk sel surya penulis ibaratkan sama dengan industri baja, baik dari segi kerumitan maupun investasinya. Besi mudah ditemui, diolah bahkan dijadikan kerajinan. Sudah banyak industri kecil kita yang mampu membuat sendiri alat alat dari besi maupun baja. Namun demikian, ketika hendak berbicara mengenai produksi massal yang memanfaatkan besi, maka pembuatan besi maupun baja sudah melibatkan perhitungan untung rugi ekonomisnya sejak dari penambangan bijih besi. Untuk dapat mengolah bijih besi menjadi besi, dibutuhkan invetasi besar; penambangan bijih, pemisahan bijih, peleburan, pengolahan dan sebagainya seperti apa yang dilakukan PT KS.

Sama dengan pengolahan silikon. Bahkan untuk hal ini, silikon membutuhkan investasi yang lebih besar dari pembuatan besi dan baja mengingat ada komponen ekstra dalam menjaga kebersihan dan ongkos energi yang sangat besar berbanding dengan hasil produksi. Betul bahwa pasir silika banyak terdapat di tanah air, namun demikian, untuk mengubahnya menjadi barang yang jauh berharga semisal semikonduktor atau sel surya, sangat mustahil dilakukan oleh perorangan atau industri kecil-menengah. Hal ini bukan hanya dikarenakan persoalan modal saja, melainkan secara ilmiah-alamiah, mengubah pasir silika menjadi silikon saja tidak dapat dilakukan dengan cara sembarangan atau cara yang disederhanakan.

Bidang ini harusnya diserahkan kepada pemerintah atau investor asing/besar yang berminat bermain di penyediaan bahan baku dasar sel surya atau semikonduktor.

Pembuatan Sel Surya Silikon : Sang Primadona

Ketika trio Bell Laboratories, Chapin, Fuller dan Pearson, menemukan sebuah fenomena p-n­ junction yang dapat mengubah radiasi sinar matahari menjadi tenaga listrik pertama kalinya pada tahun 1954, material yang dipergunakan berupa silikon (Si). Sayangnya fenomena yang mereka sebut sebagai ‘photocell’ kala itu masih belum menarik banyak perhatian kalangan peneliti untuk dijadikan sebuah mata kajian serius. Dugaan penulis pribadi ialah karena saat itu booming penelitian dalam bidang fisika zat padat (solid state physics) atau zat mampat (condensed matter) tengah mewabah. Ditambah lagi dengan semakin terbukanya teknologi semikonduktor dan teknologi vakum membuka industrialisasi besar-besaran produk elektronika terutama untuk kalangan rumah tangga pada era 1950-1960-an.

Minimnya perhatian pada fenomena photocell berlangsung hingga hampir 20 tahun lamanya sampai meletusnya krisis minyak bumi selama pecahnya perang Arab-Israel di awal tahun 1970-an akibat embargo minyak oleh negara Arab terhadap dunia Barat.

Tersentaknya dunia atas krisis minyak tersebut berimbas pada kebijakan mencari sumber-sumber energi baru selain bersandar pada minyak bumi/energi fosil di mana ‘photocell’ menjadi salah satu sumber energi baru yang dilirik. Nama photocell yang kemudian berubah menjadi solar cell/sel surya dengan sangat cepat menjadi salah satu topik utama penelitian di bidang energi baru dan terbaharukan. Hal ini sangat jelas beralasan pada kemampuannya mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung dan mudah serta sangat menjanjikan. Yang sama pentingnya ialah, munculnya topik penelitian di bidang ini telah berhasil menyadarkan masyarakat pada masa itu bahwa energi matahari memiliki potensi yang selama ini belum teroptimalkan dalam memenuhi kebutuhan energi dunia.

Sel surya dengan berbahan baku silikon hingga saat ini masih merupakan jenis sel surya yang paling banyak diteliti, dikembangkan serta dipasarkan. Selain dilatarbelakangi oleh penemuan pertama sel surya, mapannya pengetahuan akan silikon, terbuktinya kehandalan silikon dalam aplikasi sel surya, dan jumlah cadangan silikon di perut bumi berupa pasir silica yang berlimpah menjadi beberapa bahan pertimbangan utama. Belum ditambah oleh dukungan infrastruktur industri semikonduktor yang memang mengambil material silikon sebagai bahan dasar utama produk elektronika yakni microchip atau microprocessor.

Mantapnya silikon sebagai sel surya yang paling banyak diproduksi patut berterima kasih pada dukungan industri semikonduktor tersebut. Pada masa-masa awal industrialisasi sel surya, silikon sebagai bahan dasar sel surya merupakan bahan buangan dari industri semikonduktor. Silikon yang tidak terpakai pada industri semikonduktor dikarenakan, misal, kadar kemurnian silikon yang rendah, dipakai pada industri sel surya yang memang tidak terlalu membutuhkan material silikon dengan kemurnian yang sangat tinggi. Baru pada beberapa tahun belakangan inilah beberapa pabrik pemurnian silikon mulai memproduksi bahan material silikon khusus untuk aplikasi sel surya dengan berkaca pada pesatnya produksi sel surya silikon di dunia saat itu, maupun proyeksi pemasaran sel surya di masa depan. Saat ini, sel surya jenis silikon menempati pangsa pasar sekitar 82-85% pasar sel surya dunia.

Sebagaimana disinggung di atas, sel surya pertama memanfaatkan p-n junction silikon, yang menjadi cara kerja fundamental sel surya jenis apapun. Silikon jenis p (p-type) disambung dengan silikon jenis n (n-type) menghasilkan sambunagn p-n. p-type ini maksudnya silikon dengan kelebian muatan positif (surplus hole) dan n-type merupakan material silikon berkelebihan muatan negatif (surplus elektron). Adanya sambungan p-n ini memungkinkan kedua muatan positif (hole) maupun negatif (elektron) dapat berpindah dan mengalir ke arah yang berlawanan. Jika kedua ujung sambungan p-n ini dihubungkan dengan sebuah rangkaian listrik, maka elektron dan hole dapat mengalir ke rangkaian. Sinar mataharilah (photon) yang menggerakkan elektron dan hole tersebut menuju rangkaian tadi. (Mekanisme sel surya ini disederhanakan demikian saja, mekanisme sel surya yang lebih detail ditulis pada artikel (1) Gambar dibawah ini merupakan struktur komponen dasar sel surya pada umumnya.

solar-cell-description.jpg

Proses pembuatan sel surya silikon ini terbilang paling sederhana diantara semua jenis sel surya. Meski merupakan sebuah proses dalam dunia semikonduktor yang identik dengan proses high-tech, namun jika mencermati proses pembuatan sel surya secara lebih detil, kesan tersebut berangsur-angsur hilang. Penulis kebetulan pernah mengunjungi sebuah pabrik –tepatnya sebuah industri kecil-menengah- yang memproduksi sel surya di sebuah kota industri di Korea Selatan; dari pembuatan silikon n type hingga enkapsulasi sel surya yang siap dijual. Tidak terlampau rumit mengerjakannya, meski perlu disadari bahwa industri ini membutuhkan investasi yang tidak kecil.

Tahapan umum pembuatan sel surya silikon :

1. Pemesanan dan spesifikasi silikon wafer yang dibutuhkan.

Pembuatan sel surya silikon ini bermula dari pemesanan silikon khusus untuk aplikasi sel surya yang dikenal sebagai “Cz-Si wafers (Czochralski Silicon wafers) di mana Cz merupakan proses utama pembuatan silikon wafer dari bijih silikon. Yang disebut dengan khusus ialah silikon wafer ini telah dimodifikasi menjadi silikon p-type dari pabrikan. Silikon wafer untuk sel surya ini berbentuk bujur sangkar dengan sudut yang diratakan, sebagaimana ditunjukkan pada di bawah. Dimensi silikon wafer ini ialah 10-15 cm dengan ketebalan antara 200-350 micron (0.2-0.35 mm).

solar-cell.jpg

1-copy.jpg

2. Pembersihan permukaan silikon wafer.

Silikon wafer yang dipesan ini memiliki tipikal permukaan yang sangat kasar akibat pemotongan atau pengerjaan selama di pabrik pembuatan wafer. Untuk itu, permukaan silikon di etch (dikikis) dengan menggunakan larutan asam atau basa. Cukup dengan merendam silikon wafer ke dalam larutan tersebut, maka permukaan silikon wafer kira-kira sedalam 10 mikron akan terkikis secara merata.

2.jpg

3. Teksturisasi permukaan silikon wafer.

Agar silikon wafer yang dipergunakan dapat secara optimal menyerap sinar matahari, pada umumnya permukaan silikon diberi perlakuan khusus berupa teksturisasi dengan menggunakan larutan basa NaOH atau KOH dengan konsentrasi, temperatur maupun lama perlakuan tertentu. Dengan mencelupkan wafer ke dalam laruan tersebut, permukaan silikon menjadi kasar dengan tekstur menyerupai piramida. Tekstur wafer seperti piramida ini dapat mengurangi pemantulan sinar matahri yang dating serta meningkatkan penyerapan sinar matahari oleh permukaan wafer.

3.jpg

4. Difusi fosfor dan pembuatan lapisan n-type silikon.

Fosfor dikenal luas sebagai elemen tambahan (dopant) untuk membuat semikonduktor silikon berjenis n atau silikon n-type. Setelah proses teksturisasi, silikon wafer ini dimasukkan ke dalam dapur pemanas bertemperatur tinggi yang dilengkapi dengan larutan POCl3 sebagai sumber fosfor. Dengan meniupkan gas inert nitrogen ke dalam larutan, maka uap fosfor akan keluar dan dapat dialirkan ke dalam dapur. Suhu di dalam furnace dijaga sekitar 900-9500C sehingga uap fosfor tersebut dapat berdifusi masuk ke dalam silikon melalui sisi sisi permukaannya. Proses difusi biasanya dihentikan setelah 10-15 menit hinga terbentuknya lapisan silikon n-type di permukaan silikon dengan ketebalan lapisan sekitar 10-20 micron. Lapisan n-type ini berfungsi sebagai pelengkap sambungan p-n pada struktur sel surya dan lapisan konduktif yang mengalirkan elektron ke rangkaian listrik.

4.jpg

5. Penghilangan lapisan silikon n-type pada bagian sisi wafer.

Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4, lapisan silikon n-type terdapat pula di bagian sisi wafer yang bila ini terjadi maka ia dapat menghubungkan dua permukaan wafer. Untuk itu lapisan silikon n-type di sisi wafer perlu dihilangkan dengan memotong lapisan tersebut atau yang lebih presisi ialah dengan menggunakan plasma yang mengikis habis lapisan silikon n-type ini.

5.jpg

6. Pembuatan lapisan anti-refleksi.

Selain teksturisasi untuk memaksimumkan penyerapan sinar matahari, maka penggunaan lapisan anti-refleksi (anti-reflection coating/ARC) di atas lapisan silikon n-type. Lapisan ARC ini merupakan lapisan transparan/tembus cahaya yang dapat meneruskan sinar matahari yang jatuh di permukaan wafer namun tidak memantulkannya. Indeks refraksi lapisan ARC yang besar ini-lah yang menyebabkan ia tidak memantulkan sinar matahari. Material untuk ARC ini biasanya ialah TiO2 /titanium dioksida atau Magnesium Fluorida (MgF2). Teknik pembuatannya dapat memanfaatkan teknik penguapan kimia (chemical vapor deposition/CVD) yang mereaksikan uap senyawaan titanium atau magnesium organik yang dicampur dengan uap air pada suhu yang relatif rendah yakni 2000C.

6.jpg

7. Metalisasi.

Agar dapat dihubungkan dengan kabel, silikon diberi lapisan metal yang konduktif sehingga dapat mengalirkan elektron/hole dari sel surya. Logam yang cocok untuk bertuas sebagai konduktor ini ialah Ag (perak). Ia memiliki sifat konduktifitas yang tinggi, memiliki daya rekat ke silikon wafer yang sangat baik serta berdaya tahan tinggi. Perak yang dipasang di silikon wafer sangat tipis dan pemasangannya menggunakan metode screen printing. Pasta larutan perak dioleskan di atas sebuah pola dengan bagian bagin tertentu yang memungkinkan pasta larutan perak mengisi permukaan wafer. Setelah selesai dioleskan di atas wafer, dengan pemanasan dan pengeringan 100-2000C, pasta akan mengering. Proses metalisasi ini dikerjakan pula di bagian belakang silikon wafer.

7.jpg

8.jpg

8. Pemanasan (co-firing).

Pemanasan pada suhu yang tinggi diperlukan untuk memantapkan lapisan metal konduktif karena masih terdapatnya residu/bahan bahan sisa organik selama pengeringan pada suhu rendah. Pada pemasan yang lebih tinggi, perak sebagai komponen konduktif menjadi semakin padat dan mampu mempenetrasi lapisan ARC dan akhirnya menyentuh lapisan silikon n-type tanpa merusak lapisan ARC sendiri. HIngga tahap ini, komponen sel surya sudah secara utuh terbuat.

9.jpg

9. Pengujian dan pemilihan sel.

Ini ialah tahap akhir dari pembuatan sel surya yakni menguji sel dan memeriksa efisiensi sel maupun akititas quality control lainnya.

10. Enkapsulasi dan pembuatan modul sel.

Sebagaimana disebutkan di awal, sel surya hanya berukuran 10×10 atau 15×15 cm. Agar sel dapat dipergunakan, dan menghasilkan daya yang bias dipasarkan, sel dirangkai menjadi sebuah modul yang lebih besar dan tersusun atas 20-30 sel. Dalam tahap ini, proses enkapsulasi modul dengan kaca/plastik dan pemasangan frame aluminum dikerjakan hingga siap untuk dipakai (lihat gambar modul surya di bawah). Tanpa enkapsulasi yang berfungsi pula sebagai pelindung sel surya terhadap lingkungan luar, sel atau modul tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

solar_panel.jpg

Sebagai penutup. Tulisan ini salah satunya saya tujukan untuk mengetahui secara umum bagaimana proses pembuatan sel surya jenis silikon yang paling banyak dijual di pasaran. Dan juga, atas banyaknya pertanyaan seputar bagaimana investasi untuk membuat sel surya silikon sendiri di Indonesia. Diharapkan, ada semacam gambaran umum mengenai kerumitan -atau justru kesederhanaan- proses pembuatan sel surya silikon sehingga menjawab pertanyaan apakah sel surya silikon dapat diproduksi sendiri di Indonesia.